English English Indonesian Indonesian
oleh

Menjaga Keseimbangan: Jalan Menuju Pengelolaan Nikel yang Berkelanjutan di Raja Ampat

Oleh: Prof. Dr. Eng. Adi Maulana, ST. M.Phil.
Guru Besar Teknik Geologi
Universitas Hasanuddin
Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Bisnis dan Kewirausahaan
Universitas Hasanuddin

Raja Ampat, sebuah gugusan kepulauan di Papua Barat, telah lama memikat perhatian dunia sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di planet ini. Dibentuk oleh proses geologi yang kompleks, panjang dan spektakuler, kepulauan ini memiliki perairan yang indah dengan terumbu karang yang masih perawan, dan kehidupan laut yang melimpah, menjadikannya salah satu kawasan konservasi laut paling penting secara global. Tidak hanya kekayaan laut yang sangat mempesona, proses geologi juga menghasilkan potensi mineral logam nikel yang sangat besar yang saat ini menjadi komoditas primadona untuk memenuhi beberapa kebutuhan hidup manusia, terutama baterai untuk pemenuhan energi masa depan.

Namun, penambangan nikel di sekitar wilayah ini menimbulkan kekhawatiran besar atas dampak ekologis yang bisa terjadi. Ketegangan muncul antara kebutuhan investasi ekonomi dan kewajiban menjaga kelestarian lingkungan. Tantangan yang kemudian muncul yaitu bagaimana mengelola potensi sumber daya nikel yang sangat dibutuhkan oleh peradaban manusia secara bijaksana tanpa mengorbankan warisan ekologis yang tak ternilai?

Di balik janji kemajuan ekonomi, tersimpan risiko besar terhadap keberlanjutan alam dan masa depan masyarakat lokal. Bagaimana Indonesia dapat menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan kewajiban menjaga warisan ekologis yang tak tergantikan ini?

Nikel: strategis untuk dunia, risiko bagi alam

Nikel saat ini tengah naik daun sebagai komoditas kunci dalam transisi energi bersih. Logam ini menjadi bahan utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, yang merupakan tulang punggung masa depan industri otomotif global dalam peradaban moderen. Indonesia, sebagai salah satu pemilik cadangan nikel terbesar dunia, berada di garis depan dalam industri ini.

Indonesia dianugerahi kekayaan geologis berupa cadangan nikel yang melimpah, negara ini berada di posisi teratas dalam daftar negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Sekitar 42,3% atau sekitar 55 juta metrik ton cadangan nikel dunia terdapat di Indonesia. Australia dan Brasil mengikut di posisi kedua dan ketiga, dengan jumlah cadangan berkisar 21 dan 16 juta metrik ton. Pada tahun 2023, Indonesia mampu memproduksi 1.8 juta metrik ton nikel atau sekitar 50% dari total produksi nikel global. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan potensi ekonomi yang luar biasa besar.

Cadangan nikel Indonesia umumnya didominasi oleh nikel laterit, terbentuk dari pelapukan batuan beku berjenis ultrabasa. Lokasinya terletak menyebar di gugusan nusantara terutama di bagian timur mencakup pulau Sulawesi, Maluku Utara, Papua Barat dan sebagian Kalimantan.
Cadangan nikel di Pulau Gag- salah satu pulau dalam gugusan kepulauan Raja Ampat, mempunyai cadangan spesifik sekitar 240 juta ton bijih nikel, menjadikannya pulau kecil dengan potensi nikel yang besar. Penyebaran nikel di pulau lainnya dalam gugusan kepulauan Raja Ampat belum bisa dipastikan namun potensinya diperkirakan cukup besar dan meliputi wilayah kurang lebih sekitar 22 ribu hektar.

Hilirisasi nikel sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia karena meningkatkan nilai tambah ekspor, mendorong industrialisasi, menciptakan lapangan kerja, dan menarik investasi. Dengan memproses bijih nikel menjadi produk akhir seperti baja tahan karat dan bahan baku baterai, Indonesia dapat meningkatkan pendapatan negara dan daya saing di pasar global. Hal ini diperlukan untuk menggapai Indonesia Emas ditahun 2045, dimana Indonesia ditargetkan menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi , dicerminkan oleh pendapatan perkapita penduduk sebesar US$ 30.000. Bandingkan dengan pendapatan perkapita penduduk saat ini yang hanya sekitar US$3900.

Namun, di balik potensi tersebut, eksploitasi nikel menyimpan konsekuensi ekologis yang tidak bisa diabaikan. Kegiatan pertambangan dapat menyebabkan deforestasi, pencemaran air, serta kerusakan habitat laut dan darat. Di kawasan rentan seperti Raja Ampat, dampak ini bisa bersifat permanen, menghancurkan ekosistem yang telah terjaga selama ribuan tahun.

Membangun dengan prinsip berkelanjutan

Saat ini, pengajuan izin usaha pertambangan di dasarkan pada regulasi yang berlaku yaitu UU Cipta Kerja No 11 tahun 2022 dan PP No 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi ini telah diatur tentang tata cara dan tata Kelola kegiatan usaha pertambangan minerba melalui beberapa prosedur yang telah ditentukan. Namun, pengelolaan nikel di wilayah sensitif seperti Raja Ampat tidak bisa dilakukan dengan pendekatan konvensional.

Diperlukan tata kelola yang berakar pada prinsip pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Beberapa prinsip kunci meliputi:

  1. Kajian lingkungan yang ketat dan partisipatif

Sebelum izin tambang diberikan, setiap proyek wajib menjalani proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat, transparan, dan terbuka bagi partisipasi publik. Proses ini harus melibatkan masyarakat adat, ilmuwan independen, dan organisasi lingkungan. Tambang yang berlokasi di kawasan lindung, zona penyangga keanekaragaman hayati, atau pesisir sensitif, harus ditolak secara tegas demi menjaga daya dukung ekologis.

  1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) produksi yang selektif

Pemberian izin usaha pertambangan khususnya IUP produksi hendaknya memperhatikan luasan dan juga besar modal bagi Perusahaan yang mengajukan. Hal ini disebabkan Perusahaan yang mengelola IUP, terutama IUP produksi dengan luas lahan yang kecil akan cenderung mengabaikan pencemaran lingkungan, karena memiliki modal yang sedikit. Padahal pengelolaan lingkungan dalam wilayah tambang pada umumnya memerlukan biaya yang tidak murah. Izin tetap bisa diberikan untuk IUP eksplorasi, namun ketika statusnya naik ke level IUP produksi, maka pemegang IUP harus berkolaborasi dengan Perusahaan lain sampai mencukupi luas areal minimum yang nantinya dipersyaratkan. Diharapkan kolaborasi antara Perusahaan ini akan menyebabkan pengelolaan lingkungan yang lebih baik karena kolaborasi tersebut menghasilkan modal kerja lebih besar dan diharapkan cukup untuk mengalokasikan dana untuk mengatasi masalah lingkungan. Saat ini, mayoritas kerusakan lingkungan dijumpai pada wilayah-wilayah pertambangan dengan luas yang minimal dan dikelola dengan konsep penambangan yang sederhana dan nyaris tanpa konsep pengelolaan lingkungan yang baik.

  1. Reklamasi dan rehabilitasi sejak dini

Reklamasi bukanlah kewajiban yang ditunda hingga tambang berhenti beroperasi. Perusahaan tambang harus memiliki rencana reklamasi berbasis ilmu pengetahuan yang diterapkan sejak tahap awal kegiatan. Pemulihan hutan, pengelolaan limbah (tailing), dan perlindungan DAS (daerah aliran sungai) harus menjadi bagian integral dari operasi tambang.

  1. Transparansi dan keadilan sosial

Kegiatan tambang harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Ini mencakup pembagian keuntungan yang adil, pelibatan masyarakat dalam pemantauan kegiatan tambang, serta penguatan kapasitas lokal. Yang tak kalah penting, hak-hak masyarakat adat atas tanah dan wilayah leluhur mereka harus dihormati sepenuhnya.

  1. Penegakan hukum yang adil

Pada akhirnya, penegakan hukum (law enforcement) yang adil dan transparan sangat penting dalam tata kelola pertambangan untuk memastikan agar lingkungan tertap terjaga. Penegakan hukum membantu mencegah penambangan liar, memastikan perusahaan mematuhi peraturan lingkungan sesuai regulasi, dan mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Penegakan hukum diharapkan mampu menimbulkan efek jera. Namun, terdapat beberapa kendala utama dalam penegakan hukum di sektor pertambangan Indonesia, yaitu antara lain meliputi; korupsi, intervensi politik, kelemahan struktural lembaga penegak hukum, ketidaksetaraan dalam sistem peradilan, dan faktor budaya yang memengaruhi independensi penegak hukum. Selain itu, pertambangan ilegal dan perizinan yang bermasalah juga menjadi kendala serius. Olehnya itu, diperlukan sebuah komitmen tinggi bagi semua pihak dalam penegakan hukum yang adil dan tranparan.

Alternatif Masa Depan: Ekonomi Biru dan Ekowisata

Raja Ampat telah menjadi contoh sukses dari ekonomi biru berbasis konservasi laut dan ekowisata. Pendapatan dari sektor wisata laut seperti selam, pengelolaan kawasan konservasi, dan jasa ekosistem telah membuka lapangan kerja berkelanjutan bagi warga setempat, sekaligus menjaga kelestarian alam. Ekonomi semacam ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga terbukti tahan krisis dan memiliki prospek jangka panjang.

Kehadiran industri seperti pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat tentu berpotensi membawa ancaman nyata bagi ekosistem sekitar. Lumpur tambang yang dibuang ke laut, polusi logam berat, dan kerusakan terumbu karang akibat pengerukan akan membunuh keanekaragaman hayati yang selama ini menjadi magnet utama pariwisata. Sekali ekosistem ini rusak, butuh ratusan tahun untuk pulih. Oleh karena itu, setiap rencana tambang di Raja Ampat harus dipertimbangkan secara holistik. Kehadiran industri ekstraktif sebaiknya tidak mengorbankan potensi ekonomi lain yang lebih inklusif dan ramah lingkungan dan dijalankan dengan menjunjung tinggi konsep sustainable mining.

Menimbang masa depan

Pertanyaan mendasarnya bukan lagi apakah kita butuh nikel, tetapi bagaimana kita bisa mengelolanya tanpa menghancurkan warisan alam yang tak tergantikan. Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tapi juga bagian dari warisan dunia yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Dengan kebijakan yang berpihak pada ilmu pengetahuan, keadilan sosial, dan keberlanjutan jangka panjang, Indonesia dapat menunjukkan pada dunia bahwa pembangunan ekonomi tidak harus berjalan di atas reruntuhan alam. Sebaliknya, kekayaan alam yang dikelola bijak dapat menjadi berkah sejati bagi bangsa.
Indonesia dapat membuktikan bahwa kekayaan alam bisa menjadi berkah, bukan bencana. Kini saatnya membuktikan bahwa pembangunan sejati adalah yang berpihak pada kehidupan, bukan sekadar angka di atas kertas. (*)

News Feed