Sayangnya, keterampilan berargumen ini belum diajarkan serius dalam sistem pendidikan di negara ini. Anak-anak diajarkan menjawab soal dengan benar, tetapi jarang sekali diajarkan untuk menelisik lebih dalam “mengapa” jawabannya benar. Mereka tahu cara menjawab, tetapi belum tentu paham cara berpikir. Di luar negeri, penalaran logis seperti kemampuan berargumentasi sudah dimasukkan ke dalam kurikulum sejak dini. Anak-anak tidak hanya dibekali ilmu sains dan bahasa. Mereka juga diajar menyampaikan opini, membela gagasan, dan merespon kritik dengan santun. Kemampuan berargumen bukan berarti tentang menjadi siapa yang menang, melainkan tentang menjadi siapa yang bisa berpikir jernih. Sudut pandang yang perlu diubah adalah berdebat bukan berarti bertengkar, berargumen bukan berarti melawan. Justru dengan menguasai kemampuan berargumen yang baik, kita bisa menghindari konflik yang tidak perlu, menyaring informasi dengan lebih hati-hati, dan berkontribusi dalam diskusi publik yang sehat.
Dalam pandangan islam, berpikir kritis sangat dianjurkan. Bahkan, menjadi salah satu tanda keimanan yang kuat. Allah berulang kali menyeru manusia dalam Al-Qur’an untuk menggunakan akal mereka, seperti dalam Qs. Al-Baqarah (164) yang berbunyi “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.”