English English Indonesian Indonesian
oleh

Pengarusutamaan Tata Ruang untuk Tambang Galian C di Luwu: Antara Manfaat Ekonomi dan Ancaman Ekologis

Oleh: Ahmad Yusran
Ketua Forum Komunitas Hijau

Kabupaten Luwu kini berdiri di persimpangan yang menentukan: antara menggali potensi ekonominya atau menggali luka ekologis yang bisa diwariskan pada generasi berikutnya. Isu tambang galian C—terutama untuk pasir, batu, kerikil, dan tanah urug—semakin marak seiring geliat pembangunan dan permintaan infrastruktur. Namun, kita tak boleh membiarkan semangat pembangunan mengabaikan nalar ekologis dan keberlanjutan ruang hidup.

Mengapa tata ruang menjadi kunci?

Tata ruang sejatinya adalah instrumen utama untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan ruang dan daya dukung lingkungan. Namun sayangnya, di banyak tempat termasuk Kabupaten Luwu, pertambangan galian C kerap tumbuh secara masif tanpa diiringi pengawasan tata ruang yang ketat.

Padahal, wilayah pengambilan material tambang ini sebagian besar berada di daerah sensitif seperti daerah aliran sungai (DAS), perbukitan yang rawan longsor, serta kawasan pertanian dan permukiman masyarakat. Jika tata ruang tidak ditegakkan secara konsisten dan transparan, maka bukan hanya bentang alam yang rusak, tapi juga relasi sosial dan ketahanan masyarakat.

Ekonomi versus ekologi?

Tak bisa dimungkiri, pertambangan galian C menyumbang pendapatan bagi daerah, baik melalui retribusi maupun perputaran ekonomi lokal. Namun, manfaat itu kerap tak sebanding dengan risiko jangka panjang yang ditanggung masyarakat: kerusakan ekosistem sungai, hilangnya sumber air bersih, banjir bandang, dan konflik agraria.

Di beberapa titik di Kabupaten Luwu, warga telah mengeluhkan keruhnya air sungai, runtuhnya sempadan, hingga matinya kebun produktif karena aktivitas tambang yang tak terkendali. Ironisnya, tambang yang legal pun kerap mengabaikan prinsip kehati-hatian lingkungan.

Pengarusutamaan: bukan hanya soal regulasi

Pengarusutamaan tata ruang bukan sekadar soal dokumen atau tumpukan peta. Ini adalah soal mengintegrasikan nilai-nilai perlindungan lingkungan ke dalam setiap kebijakan, izin, dan pengambilan keputusan. Artinya:

Setiap izin tambang harus tunduk pada daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Harus ada moratorium dan evaluasi ulang terhadap tambang yang berada di zona merah rawan bencana.

Masyarakat lokal, terutama komunitas adat, wajib dilibatkan sejak awal dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah daerah harus berani membuka data perizinan kepada publik.

Belajar dari suara warga

Seorang tokoh adat di Bastem pernah berkata, “Jika sungai kami rusak, bukan hanya air yang hilang. Tapi hidup kami pun akan ikut terkubur. “

Ini bukan sekadar metafora. Ini adalah realitas yang harus dijadikan kompas. Pembangunan tanpa mendengar suara bumi dan manusia hanyalah proyek tanpa jiwa.

Menjaga warisan, bukan menggadaikan masa depan

Kabupaten Luwu punya potensi besar untuk tumbuh dengan tetap menjaga kearifan alamnya. Namun itu hanya bisa terjadi jika keberlanjutan menjadi pijakan utama. Kita perlu memastikan bahwa setiap kebijakan tata ruang tidak hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha, tetapi juga melindungi ruang hidup warga dan ekosistemnya.

Kita perlu menjawab pertanyaan besar ini dengan jujur: Apakah kita sedang menggali kekayaan? Atau menggali kehancuran warisan?

Tentang Penulis: Ahmad Yusran adalah Ketua Forum Komunitas Hijau, sebuah jaringan advokasi dan edukasi lingkungan yang berbasis di Sulawesi Selatan. Ia aktif mengawal isu keadilan ekologis, pelestarian DAS, serta partisipasi publik dalam tata ruang dan kebijakan lingkungan hidup.

News Feed