English English Indonesian Indonesian
oleh

Mempertahankan Karya Anak Bangsa dalam Rencana Akuisisi Grab – Goto

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf / Chairman ASEAN Competition Institute/ Ketua KPPU 2025 – 2018

Perkembangan ekonomi digital di negara-negara ASEAN sangat pesat dengan pertumbuhan dua digit secara tahunan (y-o-y), sekitar 15% tahun 2024. Hal ini ditunjukkan oleh gross merchandise value (GMV) ekonomi digital tahun 2024 mencapai 263 miliar dolar Amerika Serikat (AS), seperti yang dikutip dari laporan riset Temasek – Google tahun 2024. 

Diperkirakan nilai ekonomi digital mencapai 1,010 trilyun dolar AS dalam lima tahun ke depan, tahun 2030. Bisnis ekonomi digital ASEAN didominasi oleh e-commerce, seperti marketplace, penjualan langsung ke konsumen, penjualan grosir dan video commerce yang diperkirakan mencapai 325 miliar dolar AS tahun 2030. 

Pertumbuhan ekonomi digital secara regional ASEAN akan semakin tinggi dalam beberapa tahun mendatang seiring dengan peningkatan jumlah pengguna internet di ASEAN yang mencapai 73% – 83% tahun 2024. Dimana, terdapat sekitar 55% – 65% konsumen dari total populasi ASEAN yang aktif membeli produk ekonomi digital pada tahun 2024.

Fakta menunjukkan bahwa pengguna internet secara regional ASEAN meningkat sangat signifikan dalam lima tahun terakhir, yaitu lebih dari 100 juta pengguna baru. Pengguna internet ASEAN mencapai sekitar 75% – 85% dari total penduduk ASEAN yang berjumlah 612 juta pada tahun 2024. 

Dimana kurang lebih separuh populasi ASEAN berada di Indonesia dengan jumlah penduduk 280 juta pada tahun 2024. Hal ini setara dengan 45,75% dari total populasi ASEAN, yaitu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. 

Secara nasional, terdapat potensi pasar ekonomi digital yang sangat besar mengingat pengguna internet di Indonesia masih sekitar 69,12% dengan nilai ekonomi digital 90 miliar dolar pada tahun 2024. Lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 97,69% dari populasinya sekitar 35 juta orang dengan nilai ekonomi digital 31 miliar dolar AS.

Artinya, populasi Indonesia sekitar 280 juta orang, delapan kali lebih besar dari populasi Malaysia. Jika pengguna internet aktif Indonesia setara dengan Malaysia, 97,69% maka nilai ekonomi digital nasional seharusnya sekitar 248 miliar dolar AS tahun 2024. 

Hingga saat ini, nilai ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN, yaitu sekitar 90 miliar dolar AS atau 34% dari total nilai ekonomi digital ASEAN tahun 2024. Diperkirakan, nilai ekonomi digital Indonesia mencapai 360 miliar dolar AS tahun 2030. 

Angka di atas, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, negara dengan ekonomi digital nomor dua di ASEAN yang nilainya diperkirakan 200 miliar dolar AS tahun 2030. Demikian juga dengan Filipina dengan populasi nomor dua di ASEAN yang nilainya diproyeksikan hanya 150 miliar dolar AS tahun 2030.

Dari sisi struktur pasar digital hingga tahun 2024, hampir semua negara ASEAN dimonopoli oleh satu pemain besar yang merupakan pemain asing. Hal ini kontras dengan Indonesia, sebagai pasar ekonomi digital terbesar ASEAN didominasi oleh pemain lokal, yaitu GOTO. Sementara pemain asing, porsinya lebih kecil. 

Sejalan dengan fakta-fakta di atas, tidak berlebihan jika pasar digital nasional menjadi perhatian pemain-pemain ekonomi digital global, seperti Grab yang berkantor pusat di Singapura berencana melakukan aksi korporasi mengakuisisi GOTO sebagai platform digital terbesar di Indonesia.

Seperti yang saya kutip dari Reuters, 6/6/2025, bahwa Badan Pengelola Investasi Danantara (Daya Anagata Nusantara) berencana ikut berpartisipasi dalam mengakuisisi GOTO dengan mengakuisisi saham minoritas setelah perusahaan yang berkantor pusat di Singapura, Grab akan mengakuisisi GOTO. 

Keterlibatan Danantara Indonesia mengakuisisi saham minoritas GOTO sangat strategis dalam konteks kepentingan nasional menyelamatkan karya anak bangsa dari penguasaan asing. Mengingat, prospek bisnis digital di Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai 360 miliar dolar AS atau 5.832 trilyun rupiah dalam lima tahun ke depan, tahun 2030. 

Artinya, jika benarDanantara Indonesia sedang mengkaji dan masuk dalam akuisisi ini, saya kira ini arahan dari Presiden. Dan tentu ini bukan tentang siapa melobi siapa. Tapi pelibatan Danantara Indonesia sebagai bentuk kepedulian presiden Prabowo terhadap industri strategis yang menyangkut hajat hidup 280 juta penduduk Indonesia. 

Hal ini juga berkaitan dengan ekosistem digital raksasa mencakup puluhan bahkan ratusan juta data. Sehingga sangat wajar jika presiden punya perhatian khusus dengan hal ini. Di sisi lain, menurut saya, tidak akan ada selevel menteri yang berani dan mampu menggerakan Danantara Indonesia.

Selama ini, presiden Prabowo adalah tokoh yang sudah puluhan tahun mengangkat isu-isu kedaulatan ekonomi nasional, mulai dari kedaulatan pangan hingga kedaulatan nasional dalam bidang digital. 

Menurut saya, hal ini, tidak hanya terkait dengan ekonomi an sich, tetapi juga berkenaan dengan menjaga kedaulatan data sebagai sumber daya baru selain hasil tambang, seperti nikel, batu bara, minyak dan gas. 

Singkatnya, jika benar Danantara Indonesia akan masuk dalam akuisisi ini, maka ini menjadi solusi terbaik bagi semua pihak. Keterlibatan pemerintah yang diwakili oleh Danantara Indonesia dalam akuisisi GOTO membuat pemerintah memiliki kendali terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan yang pro kesejahteraan driver dan pelaku UMKM. 

Hal ini sejalan dengan Jean Tirole, ekonom Perancis, peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2014 mengenai kekuatan pasar dan regulasi. Dimana, pada pasar yang hanya terdapat satu atau dua perusahaan memiliki kemampuan mendikte pasar maka pemerintah harus hadir. Salah satu bentuk kehadiran negara adalah dengan regulasi. (*)

News Feed