FAJAR, MADINAH–Ada detak yang berbeda saat kaki menjejak pelataran Masjid Nabawi. Seolah seluruh semesta berhenti memberi ruang bagi hati untuk berbicara tanpa kata.Di hadapan keagungan Nabawi, suara lirih jiwa menjelma menjadi doa-doa yang tak pernah terucap;terlalu dalam, terlalu suci, terlalu penuh harap.
Rasanya bukan hanya tubuh yang bersujud, tetapi seluruh luka, penyesalan, cinta, dan rindu pun ikut rebah dalam diam.Dedaunan kurma yang melambai di pelataran seakan turut menyaksikan, bahwa inilah tempat di mana air mata tak lagi berarti lemahia justru menjadi bahasa tertinggi yang dipahami oleh langit.
Di Raudhah, tempat yang mustajab itu,hati menjadi seluas samudra, dan tiap debur rindunya mengarah pada satu nama:Rasulullah Nabi Muhammad SAW.Betapa kecilnya diri ini di hadapan makam mulia beliau, dan betapa besar kasih yang tiba-tiba menyelimuti tanpa pernah diminta, tanpa pernah diukur.
Tak hanya batin yang disucikan,tetapi tubuh pun serasa menemukan ketenangan.Jantung berdetak lebih damai, tekanan darah perlahan menurun,napas menjadi lembut seiring linangan air mata yang tak ditahan.
Di tengah keheningan spiritual, sistem saraf pun seolah diajak bersujud melepaskan beban, memperbaiki keseimbangan, dan menyembuhkan yang tersembunyi.
Di saat itu pula, tubuh melepas endorfin hormon kebahagiaan yang menenangkan rasa sakit dan menumbuhkan perasaan damai.
Bersamaan dengannya, serotonin mengalir lembut menstabilkan suasana hati, meningkatkan rasa syukur, dan memberi harapan.
Inilah momen ketika ibadah dan cinta pada Rasulullah tidak hanya menyehatkan ruhani,tetapi juga memulihkan jasmani.