Guru Besar Jaringan Kebijakan, Prof. Dr. Alwi, M.Si, menyoroti realita kontradiktif dimana masyarakatnya masih suka membeli, bukan memproduksi. Untuk itu penting sosialisasi tentang pakan sehat bisa jadi strategi alternatif untuk memperkuat ketahanan pangan berbasis lokal.
Sementara itu, Prof. Dr. Deddy T. Tikson menekankan perlunya melihat MBG (Makan Bergizi Gratis) sebagai bagian dari school-based food policy, dengan merujuk pada model holistik seperti di Amerika Serikat.
Ia menggarisbawahi pentingnya kemitraan antara akademisi dan praktisi melalui pendekatan Participatory Action Research (PAR) untuk menciptakan tata kelola pangan yang lebih inklusif dan responsif.
Salah satu peserta diskusi lain, Baharuddin Solongi,M.Si sebagai praktisi dan konsultan program pembangunan daerah, menggarisbawahi pentingnya desain program yang melibatkan berbagai pihak dan komitmen pemerintah daerah untuk mendorong keberlanjutan program.
Demikian halnya dengan Dr. Nani Harlinda Nurdin yang merupakan akademisi dan praktisi pembangunan desa menekan pentingnya melihat konteks lokal dalam pelaksanaan program dan tidak semata mengimplementasi program secara seragam.
Hal ini karena setiap wilayah memiliki konteks yang berbeda. Lebih lanjut Ulil merespon bahwa kebijakan pangan sebaiknya memberi ruang inisiatif lokal dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal yang lebih sehat dan bersumber dari petani lokal.
Ulil juga mempresentasikan studi kasus dari kota Surakarta, dimana pendekatan menyeluruh terhadap kantin sehat berhasil meningkatkan pola makan, konsentrasi belajar, dan kualitas pangan sekolah. Dengan lima prinsip dasar – dari pengelolaan kantin hingga monitoring dan evaluasi – model ini telah direplikasi dan dijadikan acuan kebijakan kota.