“Karena sistem keberangkatan dari Mekkah ke Arafah menggunakan pendekatan berbasis hotel, bukan berdasarkan markaz atau syarikah, maka tenda-tenda tertentu terisi penuh lebih dulu, bahkan sebelum jemaah yang juga dijadwalkan menempati tenda tersebut tiba di lokasi,” sebut Mukhlis.
Ketiga, jumlah petugas tidak sebanding dengan jemaah. PPIH Arab Saudi telah membagi tugas layanan kepada tiga daerah kerja (daker). Daker Bandara bertanggung jawab dalam layanan jemaah di Arafah, Daker Makkah di Muzdalifah, sedang Daker Madinah di Mina.
“Dengan jumlah tidak terlalu banyak, petugas harus berjibaku melayani lebih dari 203 ribu jemaah yang tersebar di 60 markaz di Arafah. Ini menyebabkan kesulitan dalam membantu petugas Markaz dalam mengatur penempatan secara disiplin. Bahkan, banyak petugas yang kelelahan,” tuturnya.
Keempat, mobilitas jemaah yang tidak terkendali. Dijelaskan Mukhlis, banyak jemaah berpindah tenda secara sepihak untuk berkumpul dengan kerabat atau kelompok bimbingan dari daerah asal.
“Perpindahan ini memperburuk distribusi beban tenda dan menyulitkan kontrol layanan secara keseluruhan,” paparnya.
Kondisi ini juga berdampak pada gangguan distribusi konsumsi jemaah. Selama di Arafah, jemaah haji Indonesia mendapatkan lima kali makan pada 8-9 Zulhijjah 1446 H. Penempatan jemaah yang tidak sesuai rencana menyulitkan pihak syarikah/markaz proses distribusi makanan dan logistik.
“Sebagian jemaah tidak mendapatkan jatah makan tepat waktu karena data distribusi di Markaz/Syarikah tidak cocok dengan kondisi riil,” ujar Mukhlis.