Oleh: Yusran, SPd., M.Pd.
Wakasek Kesiswaan & Keagamaan SMA Islam Athirah Makassar
Setiap Iduladha, jutaan hewan disembelih di seluruh penjuru Indonesia. Tahun 2024 lalu, lebih dari 1,7 juta ekor sapi, kambing, dan domba dipersembahkan, dengan nilai ekonomi lebih dari 20 triliun rupiah (data Kementerian Pertanian). Angka ini memang mengesankan, tetapi di balik kemeriahan tersebut, kita patut bertanya, apakah makna Qurban masih hidup dalam hati kita, ataukah ia telah beralih menjadi sekadar tradisi yang dijalankan tanpa perenungan mendalam?
Qurban sejatinya adalah simbol ketundukan total Nabi Ibrahim kepada Allah SWT, dari sebuah pengorbanan yang lahir dari keikhlasan, keberanian, dan cinta yang tulus. Dalam masyarakat modern yang serba cepat dan sering terjebak dalam budaya pencitraan, pengorbanan ini seharusnya kita maknai lebih luas, sebagai kesediaan melepaskan kenyamanan pribadi demi membangun sistem sosial yang lebih adil dan berkelanjutan.
Sayangnya, dalam era media sosial saat ini, kita menyaksikan fenomena “pamer Qurban” yang menggeser esensi spiritual ibadah ini menjadi ajang adu gengsi. Pemandangan sapi terbesar yang dipamerkan di media sosial atau jumlah potongan yang diumumkan dengan bangga semakin jamak terlihat. KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sebuah sesi pernah menyindir halus, “Jangan-jangan daging Qurbanmu hanya berpindah dari freezer rumahmu ke freezer rumah tetanggamu. Yang lapar tetap lapar.”
Dari perspektif sosiologi, ini merupakan gejala ritualisasi material dalam masyarakat modern. Banyak praktik keagamaan yang awalnya kaya makna spiritual, kini berubah menjadi bentuk konsumsi simbolik sesuatu yang dipertontonkan demi memperkuat identitas sosial. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai simulacra, representasi yang lebih mementingkan citra ketimbang substansi. Hal ini mengaburkan makna sejati Qurban sebagai ibadah pengorbanan dan solidaritas.
Padahal, seperti diingatkan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, “Allah tidak membutuhkan sembelihan; manusialah yang membutuhkan pengorbanan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” Tanpa niat yang benar, Qurban hanyalah aktivitas menyembelih biasa yang kosong dari ruh ibadah.
Agar Qurban benar-benar bermakna, kita perlu menanamkan tiga prinsip. Pertama, niat yang ikhlas. Segala pengorbanan harus dilakukan semata-mata karena Allah SWT, bukan demi citra atau pengakuan sosial. Rasulullah SAW telah mengingatkan, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, distribusi yang amanah. Pastikan daging Qurban sampai kepada yang benar-benar membutuhkan. Ketiga, penguatan nilai spiritual. Gunakan momentum Qurban untuk menyembelih sifat buruk dalam diri kita seperti kesombongan, kebencian, dan iri hati sehingga hati kita menjadi lebih lembut dan peduli.
Mari kita ubah paradigma, Qurban bukanlah akhir dari ibadah, melainkan awal dari pengabdian yang lebih luas kepada sesama.
Biarlah darah dan daging yang kita persembahkan menjadi penanda kesungguhan jiwa yang rela berkorban bukan hanya untuk Allah SWT, tetapi juga untuk memperkuat jaringan kebaikan sosial yang berkelanjutan. Karena sejatinya, yang Allah kehendaki bukanlah daging yang kita sembelih, melainkan hati yang tunduk, ikhlas, dan peduli. (*)