English English Indonesian Indonesian
oleh

Minyak Cap Kapak, Milo Malaysia, dan Cinta

Oleh: Fithyani Anwar
Akademisi di FIB Unhas

Di ruang tunggu pesawat gate P13 Kuala Lumpur ini, aku merasa seperti telah tiba di Makassar. Percakapan dalam dialek Melayu sesekali terdengar. Tapi di luar itu, penumpang yang memadati ruangan ini dengan penuh antusias berbicara dengan logat Makassar dan bahasa Bugis. Beberapa dengan logat Bugis Barru. Aku yakin sekali. Inilah hiruk pikuk yang selalu kurindukan meski saat berada di Makassar sekalipun…

Bapak di sebelah ujung mengeluhkan beberapa kaleng Milonya yang terpaksa disita karena over bagasi. Seorang kakek yg duduk di dekatku terlihat bahagia dan lega menenteng dua kantung yang berisi banyak pakaian dan celana panjangnya yang dilipat seadanya. Mungkin dia lebih mendahulukan oleh-olehnya untuk masuk ke koper ketimbang baju-bajunya sendiri saat tahu bagasinya akan overload tadi. Dia sepertinya akan mudik Lebaran Idul Adha ke Makassar bersama putri dan cucu perempuannya yang cantik dan berambut ikal. Aku hanya duduk diam sambil menikmati suasana. Energiku terkuras habis dalam perjalanan 6 hari ini. Mks-Jkt-Kuala Lumpur-Kathmandu dan Kathmandu-New Delhi-Kuala Lumpur-makassar.

Ah… suasana ini… Kata ‘Milo kaleng’ dan Minyak Cap Kapak yang tadi kulihat berjajar di rak mini market persis di seberang ruang tunggu entah kenapa membawaku kembali ke masa lalu. Membawaku mengenang cinta Om kepada Nenekku yang selalu ditunjukkan dengan 2 benda itu. Sederhana tapi dalam…

“Niga mattalipong onna’? (Siapa yang menelpon tadi?)”
“Dengku (kakak)” ucap Tante.
“Mupodang mi melo’ ni cappu’ minnyakku’?(kamu beritahu kan kalau minyakku sudah hampir habis?)”
“Iye”

Dari percakapan mereka berdua, aku jadi tahu jika Omku akan mudik dari Tarakan minggu depan. Yes!!! Kepulangan Omku itu berarti akan banyak susu Milo dan berbagai cemilan dan minuman made in Malaysia. Aku yang hanya tahu susu kental manis cap Bendera coklat, merasakan nikmat luar biasa setiap kali minum Milo. Lebih tepatnya makan Milo sih. Sebenarnya rasanya sedikit pahit tapi rasa coklatnya yang kuat buat lidahku menari-nari. Enak sekali!

Belum lagi dengan kebiasaan Om yang begitu tiba akan belanja ikan-ikan bolu ataupun laut yang besar dan ayam lalu minta Nenek untuk memasaknya. Sepertinya Om tidak biasa dengan ikan mairo ataupun katombo kecil yang biasa menghiasi meja makan di rumah Nenek. Kami hanya makan ayam saat lebaran atau ada peristiwa penting.

Pokoknya aku sangat bahagia jika Omku dan keluarganya mudik. Selain makanan, Omku juga sangat royal memberi uang jajan. Wah, buatku yang saat SD kelas 1-2 itu paling banyak dapat uang jajan rp. 50, sesekali dapat uang Rp. 500 atau 1000 itu rasanya senang sekali.

Aku bisa beli es lilin yang dijual di toko kecil di sudut lapangan, es potong tape yang dijajakan keliling, atau sesekali es krim stik Miami rasa coklat/jeruk di toko milik nenek temanku. Semua itu kemewahan buatku. Belum lagi gerobak bakso yang jadi sering mangkal di depan rumah Nenek setiap kali sepupuku merengek ke Om untuk jajan Bakso.

Selama Omku di rumah nenek, selain semua kebahagiaan yang turut aku cicipi sebagai seorang anak kecil, aku juga melihat bagaimana Omku sangat menyayangi Nenek. Cinta tulus seorang putra sulung kepada ibunya.

Nenek membesarkan 3 orang anak kecil sendirian karena Kakek telah terlebih dulu meninggal. Untungnya keluarga Nenek memiliki kebun yang cukup luas sehingga jika untuk sekedar makan, mereka tidak terlalu kesusahan. Om adalah satu-satunya putra kebanggaan Nenek sekaligus tumpuan harapan.

Menurut cerita Tante, yang tidak diamini tapi tidak pula dibantah oleh Nenek, konon katanya dulu sekali pernah ada seorang pejabat yang ingin memperistri Nenek menjadi istri kesekian. Mama’ yang sejak lahir tidak pernah merasakan hidup mewah, tentu saja mendukung rencana itu. Akan tetapi, Om sangat menentangnya. Om berjanji ketika besar akan bekerja keras untuk membahagiakan Nenek. Akhirnya rencana itu batal. Nenek menolak karena kegigihan Om.

Karena itulah, ketika Om yang telah dengan susah payah disekolahkan ke kota Makassar oleh Nenek tiba-tiba kabur dan ikut dengan keluarga lain yang telah lebih dahulu pergi mencari kehidupan yang lebih baik di Tarakan, merasa sangat hancur dan kecewa. Hingga akhir hidupnya, Nenek masih terus menyayangkan pilihan hidup Om. “Andai tidak ke Tarakan, Ommu pasti sudah jadi Kepala Kantor seperti teman-temannya. Hidupnya akan lebih baik dan tidak jauh dari Nenek…” ucapan seperti ini masih terus sering terucap oleh Nenek hingga aku dewasa. Sebegitu pahitnya kenyataan ditinggal merantau jauh oleh putra kesayangan buatnya.

Entah bagaimana ceritanya Nenek bisa menjadi modiste alias penjahit yang cukup terkenal di seputaran Sumpang BinangaE. Sambil sekolah, Tante membantu Nenek menjahit sementara Mama’ mendapat tugas urusan dapur dan menjual hasil jahitan mereka. Karena itulah Mama’ sangat lincah urusan rumah dan masakannya selalu enak. Sementara Tante? Masak nasi di rice cooker pun hingga sekarang sering gagal.

Saat SD, kadang aku diminta Nenek untuk mengantarkan jahitan pesanan orang ke rumah tetangga atau ke asrama polisi. Jahitan Nenek selalu ramai, hingga saat Tante di kantor mulai ada jabatan dan gajinya cukup besar. Tante melarang Nenek menjahit lagi dan menyerahkan gajinya sepenuhnya kepada Nenek. Saat Tante di kantor, secara sembunyi- sembunyi Nenek sesekali menerima pesanan jahitan. Sebelum waktu pulang kantor, Nenek akan segera membersihkan helai-helai benang atau potongan kain di sekitar mesin jahit untuk menghilangkan jejak. Bukan masalah uang aku lihat. Tapi lebih ke kegigihan langganan lama Nenek untuk membujuk Nenek menjahit lagi.

Dari obrolan Nenek dan Om yang tidak sengaja kudengar sambil menikmati segala cemilan mewah itu, Om selalu bercerita bagaimana hidupnya di seberang telah lebih baik. Dia telah membeli tambak di pulau apa ataukah membeli kebun luas di kampung mana. Mereka mengobrol dengan sangat akrab dan mesra. Sesekali Nenek masih mengomel tentang keputusan Om dulu.

Aku bisa melihat beberapa botol besar minyak Cap Kapak pesanan Nenek di kamarnya. Om juga sering membawakan jamu-jamu atau obat dari Malaysia yang menurutnya bagus untuk kesehatan Nenek. Dia selalu tampak kuatir ketika mendengar keluhan Nenek soal nyeri di punggung atau lututnya.

Aku hanya senyum saja. Manja sekali, pikirku. Akulah saksi dan ikut jadi susah setiap kali Nenek ingin menengok sawahnya di kampung sebelah atau sekedar bertemu dengan sepupunya yang tinggal di pinggir pantai. Jaraknya cukup jauh. Kami harus melintasi lapangan bola yang luas, sawah-sawah ataupun empang di tengah terik matahari. Berjalan kaki buat kaki-kaki kecilku cukup berat. Apalagi buat nenek-nenek. Saat itu sebenarnya sudah ada pete-pete alias angkutan mobil dalam kota. Tapi Nenek tidak suka karena harus menunggu lama. Nenek juga tidak tega meninggalkanku yang baru pulang TK/SD sendirian di rumah.

Ah… Adegan Nenek bersongkok haji, berkebaya berbalut sarung batik yang menarikku dengan tangan kiri, dan payung hitam besar di tangan kanannya setiap kali akan bepergian itu tidak pernah akan kulupakan…

Oleh Nenek, Minyak Cap Kapak dari Om akan disimpan baik-baik. Minyak itu sangat berharga karena Om palingan hanya bisa pulang sekali setahun. Untuk urusan minyaknya ini Nenek agak pelit. Paling yang akan diberi adalah Nenek adiknya dan Mama’. Ini berbeda dengan Milo. Beberapa kaleng atau bungkus akan dibagikan ke keluarga dan tetangga. Mama’ biasanya dapat 2 yang besar. Tapi Nenek juga menyimpan 1-2 kaleng di bawah tempat tidur di kamar belakang.

Sementara itu, 1 kaleng terbesar akan diletakkan begitu saja di atas meja makan. Siapapun tamu yang datang, akan dijamu dengan secangkir Milo panas. Kaleng itulah yang menjadi targetku setiap pulang sekolah. TK dan SDku sengaja dipilihkan yang dekat dengan rumah Nenek karena Bapak dan Mama’ kerja. Jadi setiap pagi Bapak mengantarku ke rumah Nenek, dan menjemputku di sore/malam hari. Ini berbeda dengan Kakakku yang bersekolah di dekat rumah orang tua kami. Dia anak laki-laki sehingga menurut Bapakku bisa memanjat jendela untuk menggapai kunci rumah.

Saat itu, sebagai satu-satunya cucu yang ada di rumah Nenek, aku berkuasa penuh atas semua yang ada termasuk kaleng Milo itu. Di rumah sendiri, selama persediaan masih ada, setiap hari kami minum susu Milo yang diencerkan dengan segelas air panas. Tapi, di rumah Nenek, aku bisa menikmati Milo sepuasnya. Bukan minum, tapi makan. Tiap kali, aku sendok banyak-banyak hingga segelas penuh, lalu menikmatinya di teras depan. Butiran Milo yang agak kasar, langsung memenuhi mulutku. Lengket dan menyulitkan untuk menelannya, tapi rasanya nikmat sekali… Tidak pernah sekalipun aku ditegur karena tidak butuh lama kaleng-kaleng itu akan kosong. Nenek hanya akan menegur jika cairan lengket itu mengotori bajuku karena akan merepotkan Tante saat mencucinya.

Setelah dewasa, aku mulai mengerti psikologis orang-orang yang merantau saat akan mudik ke kampung halaman. Aku bisa mengerti mengapa koper-koper Om selalu penuh dengan makanan dan barang-barang yang saat itu masih langka di kampung kami. Aku juga bisa paham dengan cerita-cerita fantastis Om tentang kehidupan dan pekerjaannya di seberang sana.

Om ingin membahagiakan ibunya dan terutama dia berusaha meyakinkannya bahwa hidupnya di tempat yang jauh baik-baik saja. Mungkin dengan itu Om merasa dapat mengurangi rasa bersalahnya telah meninggalkan ibu dan adik-adiknya.
Cinta seorang putra kepada ibunya…. (*)

News Feed