English English Indonesian Indonesian
oleh

Dalam Perang yang Tak Pernah Usai: Narasi Perjuangan Tokoh dalam Novel Azizah Karya Emmah Azrah

Oleh : Ipa Bahya
(Alumni Unhas)

Sejarah tak hanya ditulis oleh para pemenang. Ia juga ditangisi oleh para perempuan, ditandai dengan darah yang mengering di tanah kampung, dan disimpan dalam dada orang-orang yang memilih diam daripada menyerah. Novel Azizah karya Emmah Azrah adalah salah satu ruang di mana luka-luka sejarah itu menemukan suaranya—dalam bentuk air mata, peluru, doa, dan kesetiaan yang terus dipatahkan.

Ramli Hasan, tokoh sentral laki-laki dalam kisah ini, bukanlah pahlawan tanpa cela. Ia adalah gambaran manusia yang terjebak antara idealisme dan realitas; antara cinta pada keluarga dan loyalitas pada perjuangan. Sebagai pemimpin dalam barisan DI/TII, ia mengangkat senjata bukan sekadar untuk membangkang, tetapi untuk memperjuangkan versi kebenaran yang diyakininya. Tapi idealisme tidak pernah datang tanpa korban. Dalam perjalanan itu, Ramli tak hanya kehilangan kampung halamannya, tapi juga bagian-bagian dari dirinya: kasih sayang seorang ayah, keberadaan suami, dan ketenangan seorang anak dari Palopo yang dulu.

Namun, sesungguhnya kisah ini tidak tentang Ramli—melainkan tentang Azizah. Azizah adalah denyut nadi dari seluruh kisah ini. Ia bukan sekadar “istri dari seorang pemberontak”, bukan pula bayang-bayang dari sosok besar di garis depan. Ia adalah perempuan yang berkali-kali ditinggalkan, dipaksa kuat, dan terus berdiri di tengah dunia yang tak pernah memberinya ruang untuk bernafas. Azizah berpindah-pindah dari hutan ke hutan, dari pengungsian ke pengasingan, bukan karena ia lemah, tetapi karena ia memilih untuk bertahan ketika semua orang memilih untuk melawan atau lari.

Melalui Azizah, novel ini bicara tentang perjuangan sunyi. Ia tidak membawa senjata. Ia tidak mengangkat bendera. Tapi ia membawa anak-anaknya dari satu tempat ke tempat lain, menunggu suaminya pulang dari pertempuran, melahirkan dalam kesendirian, dan tetap memberi makan anak-anak yang kelaparan meski peluru bisa kapan saja menembus atap rumahnya. Bahkan ketika dihantam kenyataan bahwa Ramli menikahi perempuan lain, Azizah tidak roboh—ia melawan. Tapi bukan dengan amarah yang meledak-ledak. Ia melawan dengan diam, dengan kehendak, dengan menodongkan pistol—bukan karena ingin membunuh, tapi karena ingin diakui: “Aku juga manusia, aku juga berhak memilih.”

Inilah wajah perempuan dalam sejarah yang jarang diberi suara.

Dari sudut pandang sosiologis, Azizah adalah saksi bagaimana konflik ideologi mencabik-cabik sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ketika negara dan gerakan separatis saling berebut kebenaran, rakyat kecil—terutama perempuan dan anak-anak—harus menanggung derita tanpa pernah diminta pendapatnya. Konflik tak hanya menumpahkan darah, tapi juga merenggut kemanusiaan: kampung dibakar, keluarga tercerai, dan cinta berubah menjadi trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun yang paling menggetarkan dari kisah ini adalah bagaimana setelah semua luka itu, Azizah tidak berubah menjadi batu. Ia tetap manusia. Ia masih bisa menangis, mencinta, dan akhirnya memaafkan. Ia adalah simbol kekuatan yang tidak keras, tapi kokoh. Bukan dalam bentuk bentakan, tapi dalam keteguhan untuk terus hidup, bahkan saat hidup terasa seperti siksaan.

Azizah bukan sekadar cerita tentang perang. Ia adalah pengingat bahwa sejarah bangsa ini tidak hanya dibentuk oleh suara tembakan dan perundingan politik, tetapi juga oleh perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak menyerah, bahkan saat cinta dan tanah air menghianati mereka.

Di akhir kisah, ketika Kahar Muzakar akhirnya mati tertembak, perang memang selesai. Tapi bagi Azizah, perjuangan tidak pernah benar-benar usai. Ia tetap harus bertahan, membesarkan anak-anaknya, menyulam kembali serpihan hidup yang hancur, dan mencari kembali jati dirinya di antara reruntuhan keyakinan yang pernah ia percayai. (*)

News Feed