Sumjati (2001:28) menjelaskan secara sederhana tindak kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman itu bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik yang tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Berkenaan dengan ini, aspek kualitatif dari tindakan ini dianggap lebih penting untuk diketahui daripada aspek kuantitatifnya, karena tindak kekerasan ini memberikan akibat serius terhadap kualitas kehidupan manusia (Sumjati, 2001:29). Selain itu, berbagai penelitian mengenai kekerasan terhadap anak ternyata sangat jarang yang memberikan perhatian pada bentuk-bentuk kekerasannya sendiri. Oleh karena itu, pembicaraan kali ini akan lebih difokuskan pada bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh anak-anak di Indonesia dalam proses sosialisasi mereka.
Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral. Ada kondisi-kondisi budaya tertentu dalam masyarakat, yakni berbagai pandangan, nilai dan norma sosial, yang seolah memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak kekerasan terhadap anak tersebut (Praditama, 2016). Hal inilah yang dimaksud dengan latar belakang budaya terjadinya kekerasan terhadap anak. Memaksa individu, individu dipaksa dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.