Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf (Tenaga Pengajar FEB Unhas)
FAJAR, MAKASSAR – Deeskalasi perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China menurunkan tekanan terhadap perekonomian AS dan global. Dimana Goldman Sach menurunkan probabilitas terjadinya resesi perekonomian AS dari 45 menjadi 35 persen.
Namun, BNP Paribas, bank dan perusahaan jasa keuangan yang berbasis di Prancis memproyeksikan bahwa inflasi AS akan mengalami peningkatan menjadi 3,1 persen pada 2025 dan 3,7 persen tahun 2026.
Demikian juga dengan proyeksi The Federal Reserve (The Fed) bahwa angka pengangguran AS akan megalami peningkatan pada tahun 2025. Saat ini, angka pengangguran AS sekitar 4,0 persen pada Januari 2025, 4,1 persen Februari 2025, 4,2 persen Maret dan April 2025.
Ekspektasi inflasi AS yang tinggi membuat The Fed mempertahankan suku bunga acuan, Federal Fund Rate (FFR) sebesar 4,25 – 4,50 persen pada Federal Open Market Committee (FOMC), 6 – 7 Mei 2025.
Sebagai perekonomain terbesar di dunia dengan 58 persen cadangan devisa bank sentral global dalam dolar AS, maka keputusan The Fed mempertahankan suku bunga acuan berdampak ke Emerging Market Economies (EMEs) melalui beberapa jalur.
Selama ini, pada saat ekspektasi inflasi tinggi maka The Fed akan menaikkan atau mempertahankan FFR. Langkah ini berdampak ke EMEs melalui peningkatan yield obligasi EMEs. Persepsi risiko ke EMEs naik yang membuat harga obligasi dan saham EMEs menurn.
Selanjutnya, aliran modal masuk ke EMEs turun menyebabkan depresiasi nilai tukar EMEs terhadap dolar AS. Atau sebaliknya, aliran modal keluar terlalu besar dari EMEs.