Oleh: Achmad Sulfikar
Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Vrije Universiteit Amsterdam,
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Palopo
Pada September 2022, Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengumumkan rencana “mini-budget” yang mencakup pemangkasan pajak besar-besaran bagi kalangan berpenghasilan tinggi, tanpa disertai penjelasan yang memadai tentang sumber pembiayaannya.
Dalam berbagai pernyataan publik, Truss bersikukuh bahwa kebijakan ini akan “mendorong pertumbuhan” dan “menguntungkan semua lapisan masyarakat melalui efek trickle-down.” Ia menyampaikannya dengan nada optimistis, tetapi tanpa komunikasi yang jernih mengenai risiko fiskal dan dampak jangka pendeknya. Truss juga menyepelekan kekhawatiran para ekonom dan mengabaikan konsultasi dengan Office for Budget Responsibility—lembaga independen pengawas kebijakan fiskal.
Komunikasinya terkesan ideologis, tidak berbasis data, serta mengabaikan realitas ekonomi yang sedang sulit. Akibatnya, pasar merespons negatif secara ekstrem, nilai poundsterling anjlok, dan Truss terpaksa mengundurkan diri hanya 45 hari setelah menjabat, masa jabatan terpendek dalam sejarah perdana menteri Inggris. Kasus ini menjadi pelajaran bahwa komunikasi pemerintah yang buruk bukan sekadar soal gaya bicara, tetapi bisa memicu krisis kepercayaan dan kegagalan kebijakan secara sistemik.
Pemerintahan Prabowo-Gibran memulai masa kepemimpinannya di tengah harapan sekaligus keraguan. Di satu sisi, ada program-program ambisius yang menjanjikan lompatan besar dalam pembangunan nasional. Namun di sisi lain, banyak elemen masyarakat masih menunjukkan sikap skeptis terhadap kredibilitas dan arah pemerintahan ini. Dua persoalan mendasar yang menjadi pangkal dari berbagai reaksi publik tersebut adalah trust issue (masalah kepercayaan) dan kegagalan komunikasi pemerintah dalam menyampaikan program-programnya secara efektif dan transparan.
Masalah kepercayaan bukan sekadar soal persepsi pribadi terhadap figur pemimpin, tetapi akumulasi dari pengalaman kolektif sebagian masyarakat yang merasa dikecewakan oleh proses politik sebelumnya. Pemilu 2024 menyisakan luka demokrasi bagi sebagian warga yang menilai kontestasi berjalan tidak setara, terutama karena dugaan keterlibatan aparatur negara dan kontroversi seputar keputusan Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks seperti ini, kepercayaan publik menjadi modal langka yang tidak bisa dipaksakan, melainkan harus dibangun secara konsisten dan berjangka panjang.
Sayangnya, kepercayaan yang rapuh ini tidak dibarengi dengan strategi komunikasi yang mampu menjembatani jarak antara pemerintah dan rakyat. Pemerintahan Prabowo-Gibran sejauh ini belum menunjukkan pendekatan komunikasi yang terbuka, partisipatif, dan berbasis pada logika empati.
Program-program seperti makan siang gratis dan hilirisasi industri kerap disampaikan dalam bentuk slogan tanpa penjelasan yang memadai mengenai data, pembiayaan, maupun mekanisme implementasinya, termasuk skenario darurat jika program-program tersebut menemui kegagalan.
Akibatnya, alih-alih menginspirasi partisipasi, kebijakan tersebut justru menimbulkan kontroversi dan resistensi.
Banyak kasus dapat dijadikan bukti lemahnya komunikasi pemerintah dalam enam bulan pertama pemerintahan ini; mulai dari respon Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan tentang teror kepala babi ke kantor Tempo yang menuai kritik publik, hingga pernyataan Menteri Kesehatan yang menyebut bahwa orang dengan gaji Rp 15 juta pasti lebih sehat dan pintar daripada yang bergaji Rp 5 juta, pernyataan yang dinilai luas sebagai bentuk empati yang tumpul.
Dalam era digital, komunikasi pemerintah tidak bisa lagi hanya bersifat satu arah. Publik kini tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga pengkritik, pengolah informasi, bahkan penyebar narasi tandingan. Ketika komunikasi resmi pemerintah lemah, ruang publik akan diisi oleh opini-opini yang bersumber dari spekulasi, disinformasi, bahkan hoaks. Pemerintah seharusnya mampu hadir di ruang-ruang tersebut secara aktif, bukan dengan sikap defensif atau retoris, melainkan dengan keterbukaan dan akuntabilitas.
Dari perspektif komunikasi, saya melihat bahwa pembenahan komunikasi politik pemerintahan Prabowo-Gibran harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu membangun sistem komunikasi strategis yang tidak hanya mengandalkan juru bicara, tetapi juga melibatkan berbagai aktor komunikasi: akademisi, masyarakat sipil, media independen, hingga influencer digital yang dipercaya publik. Strategi komunikasi harus berbasis pada public engagement, bukan semata public relations. Artinya, komunikasi bukan hanya alat persuasi, tetapi juga wadah dialog untuk mendengar kritik, menjawab pertanyaan, dan menyesuaikan arah kebijakan dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Kunci keberhasilan pemerintahan ini bukan hanya pada what to do, tetapi juga how to talk about it. Pemerintah yang dipercaya adalah pemerintah yang mampu berkomunikasi secara jujur, terbuka, dan menjadikan rakyat sebagai mitra dalam proses pembangunan. Jika dua hal ini tidak segera dibenahi, maka program-program yang baik sekalipun akan terus berjalan di tengah skeptisisme yang membeku. (*)