Sementara itu, Ahmad Firman Ashari menyoroti semakin terkikisnya nilai-nilai luhur dalam dunia akademik. Ia menyayangkan kampus yang lebih menonjolkan aspek administratif dibandingkan integritas akademik.
Akibatnya, terjadi fenomena seperti plagiarisme, praktik joki akademik, manipulasi nilai, hingga tumbuhnya budaya takut.
“Kalau pendidikan tinggi kehilangan arah, lalu untuk siapa kita belajar? Ini bukan sekadar soal data, tapi soal tanggung jawab moral,” tegas Firman.
Ia pun mengusulkan tiga hal sebagai langkah perbaikan. Reorientasi ilmu, reformasi sistem insentif, dan penguatan akses terhadap keadilan sosial.
Selvy Anggriani, akademisi perempuan dari kota kelahiran Prof Habibie, mengkritik keras tunduknya dunia pendidikan terhadap kepentingan neoliberalisme. Menurutnya, mahasiswa tak lagi didorong untuk berpikir kritis, tetapi diarahkan untuk memenuhi standar pasar dan kelulusan cepat.
“Kampus seharusnya menjadi tempat melahirkan insan-insan kritis. Namun faktanya, ruang itu makin menyempit,” ungkap Selvy dengan nada prihatin.
Sesi interaktif memperkaya diskusi dengan beragam kritik dan masukan dari peserta. Ada yang menyoroti kampus yang belum inklusif terhadap mahasiswa berkebutuhan khusus. Ada pula yang menekankan pentingnya peran keluarga dalam menanamkan nilai moral sejak dini.
Salah satu peserta menyampaikan satir yang menyentil realitas profesi akademik.
“Kalau mau kaya, jadilah pengusaha. Kalau ingin jabatan, jadilah politisi. Tapi kalau ingin hidup sederhana, jadilah dosen atau pendidik,” ucapnya.