OLEH
FADLI ANDI NATSIF
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
Mulai akhir Maret hingga Mei 1998, mahasiswa Trisakti mengonsolidasikan diri untuk ambil bagian dalam gerakan reformasi.
Sebelumnya mereka dianggap sebagai mahasiswa dari kampus yang tidak memiliki kepedulian sosial. Mereka sebagian besar berasal dari kalangan keluarga menengah ke atas yang mapan dari segi ekonomi, sehingga susah diharapkan terlibat dalam kegiatan demonstrasi.
Anggapan inilah yang ingin ditepis oleh kalangan mahasiswa Trisakti. Kesadaran kepedulian sosial termotivasi karena kondisi di sekitar bulan itu di tahun 1998 terjadi gerakan masif untuk menuntut adanya perubahan dan pergantian pemerintahan. Tuntutan reformasi ketika itu selain harus ada pergantian pemerintahan di bawah Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 lamanya. Juga harus ada perubahan konsep atau aturan main dalam kehidupan bernegara dan berbangsa (Kian Gie, 1999).
Adanya kepedulian sosial mahasiswa Trisakti ini sudah bisa dilihat sebelum 1998, yaitu ketika akan diadakan Sidang Umum MPR 1997. Pada saat itu para mahasiswa yang dipelopori oleh beberapa Ketua Organisasi Kemahsiswaan, dari Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Senat Mahasiswa Fakultas sudah mulai melakukan aksi. Bahkan aksi yang ditunjukkan oleh mahasiswa Trisakti secara konkrit untuk mengatasi krisis ekonomi saat itu dengan membagikan sembako kepada masyarakat miskin di daerah Grogol dan sekitarnya. Aksi ini dilakukan dengan bekerja sama organisasi Ikatan Kekeluargaan Alumni Trisakti.
Berdasarkan data yang bersumber dari buku Tragedi Trisakti 12 Mei Tahun 1998 (1999), aktivitas mahasiswa Trisakti mulai 23 Maret hingga 12 Mei, melakukan gerakan yang menuntut diadakannya reformasi ekonomi dan politik. Bentuk gerakan melalui orasi di dalam kampus. Tujuan aksi orasi ini untuk menggalang dan menyatukan visi mahasiswa tentang pembentukan “Indonesia Baru”. Aksi mimbar ini selain menyatukan visi dan memberikan motivasi kepada seluruh mahasiswa juga dijadikan sarana untuk meminta dukungan kepada unsur pimpinan universitas.
Akhirnya aksi ini berbuah kesepakatan atau pernyataan sikap untuk menolak terkait kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, tarif angkutan umum dan tarif listrik. Termasuk tuntunan reformasi total yaitu menurunkan Soeharto dari kursi Kepresidenan karena dianggap telah menyengsarakan rakyat hampir selama 32 tahun. Pernyataan sikap ini pula yang membawa simpati sehingga akhirnya pimpinan Universitas Trisakti memberikan dukungan terhadap perjuangan mahasiswanya tersebut.
**
Puncak solidaritas mahasiswa Trisakti ketika aksi pada 12 Mei 1998. Setelah aksi mimbar bebas di kampus dilakukan, maka dilanjutkan dengan aksi damai turun ke jalan keluar kampus. Tujuan mahasiswa bergerak keluar kampus bergabung dengan massa lain untuk menyampaikan aspirasi ke gedung DPR/MPR di Senayan. Kronologi aksi mahasiswa pada hari 12 Mei hari itu, mulai dari jam 6 pagi hingga pukul 18.30 petang menjelang malam.
Dalam uraian buku terkait data aktifitas mahasiswa Trisakti 12 Mei, dijelaskan aparat keamanan dalam menangani aksi massa/mahasiswa tidak dilakukan dengan pendekatan persuasif. Kepanikan yang terjadi saat unjuk rasa mahasiswa secara damai direspon dengan pendekatan represif sehingga ketegangan saat keributan massa, aparat secara emosional menghadapinya seolah-olah mereka berhadapan dengan musuh.
Dampak tindakan aparat keamanan yang menggunakan security approach atau pendekatan keamanan terhadap aksi mahasiswa ini akhirnya menimbulkan banyak korban baik yang meninggal maupun yang luka-luka. Ada pun data terkait kategori korban dapat dibagi tiga. Pertama, mereka yang korban luka karena penembakan. Kedua, korban luka bukan karena tembakan tetapi luka karena penganiayaan dalam bentuk pemukulan baik karena pentungan maupun popor senjata serta penendangan dengan menggunakan sepatu laras. Dan ketiga, meninggal dunia karena penembakan.
Atas kejadian kasus Trisakti 12 Mei 1998, menimbulkan banyak tanggapan baik dari tokoh masyarakat bahkan dari pemerintahan sendiri. Termasuk ucapan belasungkawa dari pemerintah diberikan oleh B.J. Habibie, ketika itu sebagai wakil predisen. Begitupun dari kalangan TNI, belasungkawa diberikan oleh Jenderal Wiranto yang ketika itu sebagai Menhankam/Pangab. Beliau sangat menyesalkan atas kejadian Trisakti dan menyatakan pihaknya akan melakukan pengusutan secara tuntas atas insiden itu. Termasuk tanggapan dari tokoh Amien Rais (salah seorang tokoh yang ikut langsung dalam perjuangan menurunkan Soeharto), menganggap bahwa tindakan aparat dari sudut pandang apapun baik agama, moral, dan Pancasila tidak dapat dibenarkan sama sekali (Hadikoemoro, 1999, dalam uraian buku: Tragedi Trisakti 12 Mei 1998).
Dampak tragedi Trisakti, 12 Mei, memberikan motivasi lebih masif dan kuat di kalangan mahasiswa seluruh Indonesia untuk terus melakukan unjuk rasa menuntut agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Hal ini diwujudkan dengan aksi melakukan pendudukan gedung DPR/MPR selama kurang lebih empat hari berturut-turut mulai 18 Mei 1998. Akhirnya pada hari keempat tepatnya 21 Mei 1998 di pagi hari Presiden Soeharto mengeluarkan pernyataan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ini sekadar uraian untuk melawan lupa, dengan kita mengenang ada sejarah peristiwa dibalik 27 tahun lalu yang menjadi pintu masuk kita memasuki era reformasi.(*)