“Kalau uang hanya lari ke emas dan saham, sektor riil tidak bergerak. Ini harus diwaspadai,” pungkasnya.
Dorong Ekonomi tapi Risiko Tetap Ada
Kebijakan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) dinilai sebagai strategi moneter yang bisa berdampak ganda. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNM, Sahade, menyebut kebijakan ini ibarat pedang bermata dua—berpotensi mendorong pemulihan ekonomi, namun juga menyimpan risiko besar bagi stabilitas keuangan nasional.
“Dari sisi positif, penurunan BI Rate mendorong naiknya harga obligasi dan membuat pasar saham lebih bergairah. Investor akan mencari instrumen berpendapatan tetap, dan perusahaan akan lebih mudah berekspansi karena biaya pinjaman menurun,” ujarnya.
Selain itu, likuiditas perbankan dinilai akan meningkat. Kredit konsumtif maupun produktif diprediksi tumbuh, mendorong daya beli masyarakat dan aktivitas usaha. Namun Sahade menegaskan, di balik manfaat tersebut, ada konsekuensi serius yang harus diantisipasi.
“Penurunan suku bunga bisa melemahkan nilai tukar rupiah karena aset keuangan Indonesia jadi kurang menarik bagi investor asing. Ini bisa memicu capital outflow,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan risiko inflasi akibat lonjakan konsumsi. Jika permintaan barang dan jasa meningkat tajam tanpa diimbangi ketersediaan, inflasi bisa melonjak di luar kendali. “Kita sudah pernah alami inflasi hingga 7 hingga 8 persen. Kalau tidak dikendalikan, bisa seperti masa krisis moneter dulu,” ujarnya.
Kekhawatiran lainnya datang dari sektor perbankan. Sahade mencontohkan BRI yang aktif menyalurkan kredit ke UMKM. Meski akses permodalan meningkat, risiko gagal bayar tetap tinggi. “Kalau tidak dikawal, bisa berujung kredit macet dan berdampak pada stabilitas sektor keuangan,” tambahnya.