English English Indonesian Indonesian
oleh

Menjaga Warisan Dunia: Mendorong Pengakuan Karst Maros-Pangkep sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO

Oleh Yadi Mulyadi
Dosen FIB Unhas

Di balik keindahan bentang alam Karst Maros-Pangkep yang megah, tersimpan warisan budaya luar biasa yang telah bertahan selama puluhan ribu tahun. Gua-gua prasejarah di kawasan ini bukan hanya menyimpan lukisan dinding tertua di dunia, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan panjang manusia dan peradaban awal di dunia. Inilah alasan utama mengapa kawasan ini diusulkan menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO.

Sejak tahun 2009, kawasan ini telah masuk dalam daftar Tentative List UNESCO dengan nama “The Prehistoric Cave Sites in Maros-Pangkep” (https://whc.unesco.org/en/tentativelists/5467/ ). Nama ini menekankan nilai arkeologis dan budaya dari situs-situs gua prasejarah di kawasan tersebut.

Namun, pada April 2025, pengusulan ini diperbarui dengan nama baru: “The Prehistoric Caves Area in the Karst Landscape of Maros-Pangkep” (https://whc.unesco.org/en/tentativelists/5467/ ). Perubahan nama ini mencerminkan pendekatan yang lebih holistik, tidak hanya menyoroti situs gua sebagai entitas terpisah, tetapi juga menekankan pentingnya konteks bentang alam karst sebagai bagian integral dari nilai budaya dan geologis kawasan tersebut.

Dengan nama baru ini, pengusulan tidak hanya memperkuat argumen nilai budaya, tetapi juga mengintegrasikan aspek geologis dan ekologis yang telah lebih dahulu diakui melalui status UNESCO Global Geopark dan Cagar Biosfer.

Warisan Budaya yang Tak Ternilai
Kawasan Karst Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan merupakan salah satu situs arkeologi paling penting di dunia. Mengacu pada data Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, jumlah situs prasejarah di kawasan ini sampai Mei 2025 tercatat sebanyak 734 situs. Dua diantaranya yaitu Leang Tedongnge dan Leang Bulu’ Sipong 4, ditemukan lukisan figuratif hewan dan cetakan tangan yang diperkirakan berusia lebih dari 45.500 tahun, menjadikannya seni cadas tertua yang diketahui secara ilmiah hingga saat ini. Penelitian mutakhir menggunakan teknologi laser-induced uranium-series dating berhasil memperbarui usia lukisan gua di Leang Bulu’ Sipong 4, yang sebelumnya diperkirakan berusia 43.900 tahun, menjadi setidaknya 48.000 tahun. Lukisan ini menggambarkan adegan perburuan dengan figur manusia dan hewan, dan merupakan salah satu contoh paling awal dari seni naratif yang diketahui di dunia.

Metode baru ini memungkinkan penanggalan yang lebih akurat dengan memetakan distribusi isotop uranium secara spasial, menghindari kesalahan yang umum terjadi pada metode konvensional. Ini merupakan lompatan besar dalam studi seni cadas dan memperkuat argumen bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep adalah pusat penting dalam sejarah budaya manusia.
Penelitian terbaru oleh Adhi Agus Oktaviana dan timnya, yang dipublikasikan di jurnal Nature pada tahun 2024, mengungkap bahwa sebuah adegan naratif di Leang Karampuang—yang menggambarkan interaksi antara manusia dan hewan—berusia setidaknya 51.200 tahun. Ini menjadikannya contoh tertua seni naratif yang pernah ditemukan di dunia. Temuan ini tidak hanya memperkuat posisi kawasan ini sebagai pusat awal perkembangan budaya manusia, tetapi juga menantang pemahaman kita tentang asal-usul kemampuan bercerita dan simbolisme dalam sejarah manusia. Temuan ini uga jmenegaskan bahwa kemampuan manusia untuk bercerita melalui gambar telah ada jauh lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.

Namun, kekayaan budaya ini sangat rentan terhadap kerusakan. Proses pelapukan garam (salt weathering) yang dipicu oleh fluktuasi suhu dan kelembaban ekstrem menyebabkan pengelupasan permukaan batu tempat lukisan berada. Studi menunjukkan bahwa kerusakan ini bersifat progresif dan dapat menyebabkan hilangnya lukisan dalam waktu dekat jika tidak segera ditangani. Lebih lanjut, studi oleh Huntley et al. (2023) dalam Journal of Archaeological Science: Reports menekankan bahwa kerusakan ini bersifat progresif dan tidak merata, dengan beberapa situs menunjukkan degradasi yang signifikan hanya dalam hitungan tahun (Huntley et al., 2023).
Penelitian lainnya yang dipublikasikan dalam Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi (2024) menunjukkan bahwa kerusakan pada gambar-gambar gua prasejarah semakin meningkat, terutama akibat faktor lingkungan seperti perubahan iklim, kelembaban, dan pengelupasan batuan. Fenomena El Niño yang ekstrem juga dilaporkan mempercepat degradasi seni cadas di kawasan ini.

Untuk menjawab tantangan ini, para peneliti dari Universitas Hasanuddin dan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX telah mengembangkan aplikasi Mobile GIS yang memungkinkan pemantauan dan pembaruan data gambar gua secara digital dan real-time. Teknologi ini memungkinkan dokumentasi yang lebih akurat dan efisien terhadap kondisi situs, serta menjadi alat penting dalam upaya pelestarian jangka panjang 1.

Dengan nilai budaya yang luar biasa dan kondisi yang semakin rentan, kawasan ini tidak hanya layak, tetapi mendesak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.

Peran Strategis Pemerintah dalam Pelestarian

Pengusulan kawasan ini sebagai Warisan Budaya Dunia tidak bisa dilakukan tanpa dukungan kuat dari pemerintah. Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, serta pemerintah daerah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan memiliki peran strategis dalam proses ini—mulai dari penyusunan dokumen nominasi, penguatan regulasi perlindungan, hingga pelibatan masyarakat dalam pelestarian. Oleh karena ini, pemerintah daerah harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, termasuk kewajiban untuk mengalokasikan anggaran pelestarian cagar budaya.

Kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah sangat dibutuhkan agar pengusulan ini tidak hanya menjadi simbolik, tetapi juga berdampak nyata bagi pelestarian dan pengembangan kawasan, yang kemudian menghasilkan efek domino pada sektor pariwisata yang akan berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.


Manfaat Global, Dampak Lokal


Penetapan situs-situs gua prasejarah di kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Warisan Budaya Dunia akan membawa banyak manfaat. Secara global, ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya dan sejarah yang diakui dunia. Secara lokal, status ini dapat mendorong pengembangan pariwisata berkelanjutan, membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat, serta meningkatkan kesadaran dan kebanggaan terhadap warisan budaya sendiri.

Lebih dari itu, pengakuan UNESCO akan menjadi tameng perlindungan tambahan bagi situs-situs prasejarah ini, memastikan bahwa generasi mendatang masih bisa menyaksikan dan mempelajari jejak-jejak peradaban awal manusia.

Komitmen Indonesia dalam Meningkatkan Kualitas Pengusulan

Sebagai bentuk keseriusan dalam mendorong pengakuan kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Warisan Budaya Dunia, pemerintah Indonesia turut aktif dalam berbagai forum internasional. Salah satunya adalah partisipasi dalam International Workshop on Quality Nominations for World Heritage Sites in Southeast Asia yang diselenggarakan di Manila, Filipina, pada 20–22 Mei 2025.
Dalam kegiatan ini, pengusulan “The Prehistoric Caves Area in the Karst Landscape of Maros-Pangkep” menjadi salah satu topik yang dibahas secara khusus. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas dokumen nominasi, memperkuat kerangka analisis komparatif, serta menyusun strategi pelestarian yang sesuai dengan standar UNESCO. Kegiatan ini juga mencakup sesi klinik, penilaian awal, dan konsultasi teknis yang sangat penting untuk memperbesar peluang kawasan ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Saya sendiri berkesempatan menjadi salah satu anggota tim yang mengikuti kegiatan ini, yang tidak hanya memperkaya pemahaman teknis kami, tetapi juga memperkuat jejaring kerja sama antarnegara di Asia Tenggara dalam pelestarian warisan budaya.

Pengusulan ini bukan hanya tugas pemerintah atau akademisi. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa. Dukungan masyarakat sangat penting—baik melalui penyebaran informasi, keterlibatan dalam kegiatan pelestarian, maupun dengan menjadi wisatawan yang bertanggung jawab.

Karst Maros-Pangkep bukan hanya milik Sulawesi Selatan. Ia adalah warisan dunia yang lahir dari tanah Indonesia. Sudah saatnya kita jaga bersama.

Referensi
[1] Aubert, M., et al. (2021). Earliest hunting scene in prehistoric art. Science Advances, 7(3), eabd4648.
[2] Huntley, J., et al. (2023). Progressive degradation of rock art in Maros-Pangkep. Journal of Archaeological Science: Reports, 39, 102491.
[3] Ilmi, M. (2023). Integrating science, policy, and community for sustainable conservation. AIPI Report.
[4] Oktaviana, A. A., et al. (2024). Oldest narrative art in the world. Nature, 575(7781), 442-445.

News Feed