Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf (Chairman Asean Competition Institute – ACI)
FAJAR, MAKASSAR – Trade War 1.0 dimulai pada periode pertama kepresidenan Donald Trump tahun 2017 – 2021. Hal ini tandai oleh pengenaan pajak senilai lebih dari 250 miliar dolar AS terhadap barang-barang dari China oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) pada tahun 2018.
Akibatnya, rantai pasok AS – China terganggu. Dimana, harga barang-barang dari China di pasar AS naik yang membuat importir AS mengalihkan pembelian produknya dari China ke negara lain yang harganya lebih murah.
Perang dagang AS – China jilid satu membuat banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang sebelumnya menjadikan China sebagai basis produksi untuk pasar AS memindahkannya ke negara lain.
Ada dua kelompok negara yang mendapat windfall profit (rejeki nomplok), yaitu kelompok pertama, negara yang mengandalkan ketersediaan tenaga kerja murah, mayoritas di Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand dan Banglades.
Kelompok kedua adalah negara dengan sektor manufaktur berteknologi tinggi yang sangat kompleks. Negara tersebut memiliki tenaga kerja berketerampilan tinggi dengan belanja Research and Development (R&D) yang besar, seperti Taiwan, Korea dan Jepang.
Perang dagang mereda setelah Trump tidak terpilih lagi untuk periode kedua tahun 2021 – 2025. Namun, setelah empat tahun masa jeda, Trump terpilih kembali untuk periode kedua tahun 2025 – 2029, yang meningkatkan ekslasi perang dagang AS – China.
Trade War 2.0 yang sedang berlangsung ditandai oleh pengenaan pajak resiprokal ekstra tinggi oleh Trump hingga 145 persen terhadap produk impor China. Sebaliknya, presiden Xi Jinping mengenakan tarif retaliasi sebesar 125 persen terhadap impor dari AS.