Esai ini akan membahas bagaimana pola pikir slippery slope bekerja dalam konteks Polewali Mandar, khususnya terkait pendidikan perempuan. Melalui analisis kritis, tulisan ini juga akan menguraikan dampak negatif dari pola pikir tersebut serta menawarkan langkah-langkah solutif untuk membebaskan masyarakat dari belenggu ketakutan yang tidak berdasar.
Slippery slope, atau logika “lolos licin”, adalah kecenderungan untuk percaya bahwa satu langkah kecil akan memicu rangkaian peristiwa buruk yang tak terhindarkan. Di tanah Mandar yang kaya akan tradisi, pola pikir seperti ini ibarat bayangan yang selalu mengikuti setiap wacana perubahan. Ia muncul dalam berbagai aspek kehidupan, dari pendidikan perempuan hingga banyak konteks lainnya, membelenggu kemajuan dengan rantai ketakutan irasional.
Dalam konteks pendidikan perempuan, kekhawatiran berlebihan ini seringkali berbentuk penolakan terhadap kesempatan belajar di luar daerah. Banyak orang tua yang terjebak dalam skenario mengerikan: perempuan kuliah di kota = terpengaruh pergaulan bebas = hamil di luar nikah = aib keluarga. Padahal, jika kita menelisik lebih dalam, logika ini mengabaikan banyak faktor penting.
Pertama, anggapan bahwa kota besar pasti merusak moral adalah generalisasi yang keliru. Pergaulan bebas bisa terjadi di mana saja, termasuk di Polewali Mandar sendiri. Justru dengan pendidikan yang baik, seorang perempuan akan memiliki kemampuan berpikir kritis untuk membentengi diri. Kedua, banyak contoh perempuan Mandar yang sukses menempuh pendidikan tinggi tanpa kehilangan nilai-nilai kesopanan dan agama. Mereka pulang kampung bukan dengan aib, melainkan dengan ilmu dan keterampilan yang bermanfaat bagi masyarakat.