Oleh: Nurul Mutmainnah, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNM
Di banyak wilayah pedesaan Indonesia, termasuk Polewali Mandar, pendidikan perempuan masih menjadi isu yang penuh dengan tarik-menarik antara harapan dan ketakutan. Di satu sisi, masyarakat mulai menyadari pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan, bukan hanya sebagai hak dasar, tetapi juga sebagai pintu masuk menuju kesejahteraan keluarga dan kemajuan sosial.
Banyak orang tua mulai mengimpikan anak perempuannya menjadi guru, bidan, atau bahkan pemimpin komunitas. Namun di sisi lain, masih terdapat kekhawatiran yang kuat bahwa membiarkan anak perempuan merantau untuk belajar, khususnya ke kota-kota besar, bisa membawa mereka ke dalam lingkungan yang “berbahaya”.
Ketakutan ini seringkali tidak bersandar pada realitas faktual, melainkan pada pola pikir slippery slope—yakni anggapan bahwa satu keputusan kecil (seperti mengizinkan anak perempuan kuliah di luar daerah) akan membawa pada rangkaian peristiwa buruk yang tak terhindarkan (seperti rusaknya moral, hamil di luar nikah, dan mencoreng nama baik keluarga). Pola pikir seperti ini telah menjadi bagian dari cara pandang masyarakat yang sulit digoyahkan, karena ia berakar dari kombinasi antara pengalaman masa lalu, narasi kolektif, serta rasa takut akan hal-hal yang belum dikenal.
Padahal, jika kita menengok lebih luas, ketakutan-ketakutan ini sering kali dibentuk oleh informasi yang bias, pengalaman segelintir kasus yang digeneralisasi, dan rasa tidak percaya pada kemampuan anak perempuan untuk mengambil keputusan secara dewasa. Akibatnya, banyak potensi yang akhirnya dikorbankan hanya karena kekhawatiran yang belum tentu terbukti. Situasi ini menciptakan semacam paradoks sosial: masyarakat ingin maju, tetapi terlalu takut untuk bergerak.