English English Indonesian Indonesian
oleh

Budaya  Instan

SuarA: Nurul Ilmi Idrus

Jika dulu kita berbicara instan, maka yang terlintas adalah susu instan. Kini instan semakin banyak padanannya, salah satunya budaya instan. Budaya instan adalah budaya yang berkembang di masyarakat dengan pola pikir yang menginginkan suatu hal dengan cara yang mudah, tanpa melalui suatu proses yang bertahap. Di antara contoh budaya instan yang berkembang di masyarakat adalah keinginan untuk cepat kaya, cepat cantik, dan cepat sehat.

Menjadi kaya menjadi dambaan banyak orang. Menjadi cepat kat kaya membuat orang berupaya dengan berbagai cara untuk mewujudkannya. Gaya hidup hedonis (mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas) membuat orang tidak sabar untuk segera mewujudkannya, untuk menunjukkan diri dengan berbagai simbol status. Ini terjadi di berbagai tempat, termasuk di perguruan tinggi yang dulu dianggap sebagai benteng peradaban yang menjaga, sekaligus mengembangkan budaya ilmiah dan membangun kepedulian pada kehidupan masyarakat. Filosofi ini tergerus oleh obsesi untuk menjadi kaya secara instan. Salah satu caranya adalah dengan berbisnis karya ilmiah dari semua jenis, terutama tesis dan disertasi agar dapat menyelesaikan studi secara instan. Setiap strata ada tarifnya, dari belasan hingga puluhan juta rupiah. Mangsa utama adalah mereka yang berduit, yang dideteksi bahkan saat mereka mendaftar sebagai calon mahasiswa, sehingga oknum dosen “menanam saham kebaikan” kepada mahasiswa target untuk menarik perhatian sebelum akhirnya “menangkap” mangsanya dengan dalih sebagai dosen pembimbing. Jika gayung bersambut, maka bisnis karya ilmiah berjalan dengan mulus. Ada suplay ada demand! Sebaliknya, jika gayung tak bersambut, ini rentan menimbulkan konflik. 

Keinginan untuk menjadi cantik secara instan tak kalah seru. Munculnya skincare berkelindan dengan keinginan untuk menjadi cantik dengan hasil instan. Tak heran jika skincare dengan berbagai merek menjadi booming. Jika dulu perempuan Indonesia ingin menjadi putih sekarang perempuan ingin berwajah glowing (bersih, bercahaya, dan cerah), bercermin dengan kecantikan ala Korea (K-beauty). Iklannya yang serba instan (menjadi glowing dalam waktu singkat) dengan menampilkan wajah-wajah glowing (terutama wajah owner-nya) untuk meyakinkan calon pembeli skincare. Produk kecantikan yang instan biasanya mengandung bahan-bahan yang dapat memberikan hasil instan, seperti mercuri, hydroquinone dan/atau zat-zat berbahaya lainnya. Obsesi untuk menjadi glowing membuat akal sehat menjadi mandek, sehingga skincare laku seperti kacang goreng. Namun, kerusakan kulit mengintai, karena sekali pakai skincare instant, selanjutnya akan bergantung. Menghentikannya berisiko kulit menjadi lebih buruk dari semula.

Yang lain adalah keinginan untuk cepat sehat. Ketika sakit, orang baru menyadari betapa pentingnya menjadi sehat dan ingin menjadi sehat secara instan. Tapi mereka lupa bahwa sehat itu merupakan investasi jangka panjang, bukan investasi instan. Orang seringkali iri dengan kondisi tubuh (ramping, berisi, dll.) dan kesehatan seseorang (enerjik, dll.), mengakui gaya hidupnya yang tidak sehat, tapi tidak memiliki motivasi untuk mengubah gaya hidup yang buruk di masa lampau (memakan makanan tak sehat, tidak berolahraga, full of stress). Akibatnya, yang bersangkutan menggunakan cara instan, seperti meminum obat untuk mengurangi berat badan (jika penyebabnya adalah kegemukan), tidak mengendalikan diri dari makanan/minuman yang tidak sehat, sehingga ia terjebak dalam lingkaran setan gaya hidup tidak sehat. 

Tak ada pohon yang langsung berbuah lebat, tanpa didahului dengan pemilihan bibit yang bagus, memupuknya, merawatnya, bertumbuh besar, hingga berbuah lebat. Semua membutuhkan proses. Kebanyakan orang ingin memeroleh kepuasan secara instan, namun cepat belum tentu tepat. So, watch out!

News Feed