Beranda: Aidir Amin Daud
Ada film perang pekan lalu di bioskop Indonesia. Warfare. Film yang mengisahkan sebuah tim Navy SEAL Amerika yang pada 2006 terjebak dalam sebuah rumah di Ramadi, Irak, saat masa pendudukan Amerika. Meskipun kejadiannya sudah dua dekade lalu — namun pesan film ini tetap relevan di tengah perang dan pembantaian di Gaza, perang Rusia-Ukraina hingga konflik yang sempat memanas di Khasmir. Ray Mendoza yang menulis pengalamannya di Ramadi dan ikut terlibat dalam penggarapan film ini, sempat menyatakan kalimat ini, “Look for the blood and the smoke.” Ray sebagai komunikator pasukan yang terkepung menyampaikan itu ke kelompok lain yang mencarinya. Ya, hanya itu petunjuk posisi yang tepat, asap mesiu dan genangan darah.
Di akhir film Warfare — tak ada percakapan ketika mereka dijemput tim bantuan. Tetapi terasa bahwa sesudah ketegangan yang berhari-hari, eksplorasi emosional yang mendalam, tekanan psikologis, rasa takut, darah yang ada di mana -mana, suara erangan kesakitan prajurit yang tertembak — ada pertanyaan untuk apa semua ini? Film ini mungkin terasa menjadi film dengan genre perang yang tidak memuliakan kekerasan atau kepahlawanan. Warfare bukan sekadar tontonan aksi militer, melainkan tentang beban psikologis, rasa takut, dan hubungan antar prajurit yang terjalin di tengah situasi peperangan. Untuk mengingatkan kita bahwa ada suasana seperti itu dan bahkan lebih menyedihkan di banyak belahan bumi lain. Terutama mungkin di Gaza, Ukraina, Lebanon, Yaman hingga Kashmir.
**
Mungkin karena itu — adalah sebuah sikap yang amat baik ketika Konferensi ke-19 Uni Parlemen Negara-Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Parliamentary Union of the OIC (PUIC) menghasilkan sejumlah rekomendasi yang mereka beri nama Deklarasi Jakarta. Dan poin-poin utama dari Deklarasi Jakarta adalah pernyataan sikap tegas negara-negara anggota OKI terhadap situasi di Palestina. Dokumen ini mencakup 17 rekomendasi utama yang mencerminkan konsensus di antara parlemen negara-negara Islam dalam menyikapi konflik yang berkepanjangan.
Salah satu poin sentral dari deklarasi ini adalah dukungan penuh terhadap upaya hukum internasional untuk meminta pertanggungjawaban para pejabat Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang telah dikeluarkan surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada tahun 2024 atas kejahatan perang yang dilakukan di Gaza. Ini menandai langkah signifikan dalam upaya diplomatik untuk menegakkan keadilan internasional. Mendukung penuh upaya hukum yang sedang berlangsung di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk meminta pertanggungjawaban pejabat Israel atas dugaan kejahatan perang.
Deklarasi Jakarta juga menegaskan kembali dukungan untuk kenegaraan Palestina secara penuh dan pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina sesuai dengan batas-batas sebelum 1967. Menolak dengan tegas segala bentuk aneksasi wilayah Palestina dan mengecam pemindahan paksa warga sipil Palestina dari tanah mereka. Mendesak komunitas internasional untuk menerapkan sanksi diplomatik dan ekonomi terhadap Israel dan melakukan isolasi diplomatik.
Deklarasi ini juga menekankan pentingnya mengakhiri segera agresi militer terhadap Gaza, mencabut blokade yang telah berlangsung bertahun-tahun, dan memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan tanpa hambatan. Selain itu, dokumen ini mendorong negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya diplomatik di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memajukan solusi dua negara, yang akan menjadi fokus utama pada KTT mendatang di New York.
Aspek penting lainnya dari Deklarasi Jakarta adalah seruan untuk pembebasan semua tawanan dan tahanan Palestina yang ditahan secara ilegal oleh Israel, serta peningkatan bantuan kemanusiaan untuk meringankan penderitaan rakyat Palestina, terutama di Gaza yang telah mengalami kehancuran infrastruktur dan krisis kemanusiaan yang parah. Saatnya, kita mengakhiri perang. Saatnya mengakhiri kesia-siaan perang. ****