FAJAR, MAKASSAR — Pengemudi dan pemilik jasa transportasi truk di Sulsel merasa dipinggirkan. Pemerintah Provinsi didesak untuk menghadirkan kebijakan logistik yang berkeadilan dan manusiawi.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan diminta tidak lagi menutup mata terhadap kondisi para pengemudi dan pemilik jasa transportasi truk yang selama ini beroperasi dalam tekanan sistem logistik yang timpang. Meski merupakan bagian penting dalam rantai distribusi ekonomi, mereka merasa termarjinalkan dari perhatian pemerintah, khususnya dalam hal keamanan, keselamatan, dan kenyamanan berkendara.
Pemerhati Kebijakan Publik, Andi Januar Jaury Dharwis, menyampaikan keprihatinannya atas situasi para sopir truk yang tidak difasilitasi secara layak di wilayah perkotaan maupun jalan lintas kabupaten/kota.
“Mereka bayar pajak kendaraan, retribusi jalan, uji KIR, dan pungutan lainnya secara taat. Tapi tak satu pun rest area disediakan untuk mereka beristirahat. Bahkan di perkotaan tidak ada zona transit atau hub yang memungkinkan truk parkir layak sambil menunggu bongkar muat. Ini jelas ketimpangan struktural dalam kebijakan transportasi,” ujar Andi Januar.
Dalam operasional di lapangan, para sopir truk dituntut untuk menempuh perjalanan jauh antarwilayah dengan batas waktu tertentu. Padahal, sesuai rekomendasi keselamatan jalan dari berbagai badan transportasi dunia, durasi aman berkendara sopir truk maksimal 8 jam per hari dengan istirahat setiap 4 jam sekali.
Namun, karena tidak adanya rest area atau zona aman untuk berhenti, para pengemudi terpaksa terus mengemudi hingga menemukan tempat seadanya yang sering kali justru membahayakan pengguna jalan lain.