English English Indonesian Indonesian
oleh

Mencerdaskan Masyarakat Melalui Buku Hukum: Refleksi Hari Buku Nasional

Oleh: M. Aris Munandar
(Penulis dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Sepintas Tentang Buku dan Perjuangan


Buku layaknya tameng kebodohan bagi manusia. Melalui buku, setiap sosok dapat mengetahui isi dunia hanya dengan membacanya. Bahkan, buku dapat menghasilkan “homo intelectus” (manusia yang cerdas). Kecerdasan yang lahir itu tidak hanya karena manusia belajar dari lingkungannya, melainkan ada sumber literasi yang berkualitas menjadi faktor utama sehingga terjadi perkembangan ilmu pengetahuan di segala sisi kehidupan.

Hari Buku Nasional yang diperingati pada tanggal 17 Mei 2025, adalah momentum untuk mengingat kembali sejarah perjuangan para pendahulu dan tokoh bangsa demi kemerdekaan Indonesia. Mohammad Hatta (Kerap dipanggil Bung Hatta) sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pertama yang juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, sangat erat kaitannya dengan buku. Bahkan dalam kehidupannya sehari-hari hampir tidak terlepas dari sebuah buku. Salah satu “magnum opus” dari Bung Hatta adalah buku yang berjudul “Demokrasi Kita”.

Kecintaannya terhadap buku bukan “kaleng-kaleng”. Ia menjadikan buku sebagai jalan perlawanan. Hingga suatu masa di mana Bung Hatta mengatakan “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Dengan buku aku bisa bebas” (Sumber: https://nasional.okezone.com/).

Ungkapan Bung Hatta bukan hanya sebatas kata, pada tahun 1934 Bung Hatta dihukum penjara di Glodok oleh pemerintah kolonial atas aktivitas pergerakannya dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).
Ibarat “gayung bersambut, kata berjawab”, hukuman itu tidak menyurutkan semangatnya dalam berjuang. Bahkan dalam tekanan penjara dan ancaman pengasingan ke Boven Digoel, Bung Hatta tetap memikirkan satu hal: bagaimana membawa serta buku-bukunya. Bagi Hatta, penjara hanya membelenggu raga, tetapi buku membebaskan pikiran. (Sumber: https://historia.id/).

Cinta Hatta terhadap literasi adalah bentuk perlawanan terhadap penindasan, sebuah pesan kuat bahwa buku dapat menjadi senjata melawan ketidakadilan, termasuk dalam konteks hukum pidana hari ini. Ketika pasal-pasal “karet” masih membayangi, literasi hukum menjadi kebutuhan mendesak agar setiap masyarakat mampu mengenali haknya dan tak menjadi korban sistem hukum yang buta.

Buku dan Hukum: Menolak Buta Hukum di Era KUHP Baru

Hari Buku Nasional bukan hanya sekadar momentum merayakan budaya membaca, tetapi juga saat yang tepat untuk merefleksikan bagaimana buku, khususnya buku-buku hukum pidana dapat menjadi alat perjuangan untuk melawan ketidakadilan, kebodohan dan kebutaan hukum. Di tengah perjalanan menuju penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP Nasional) dan masih menyimpan “karut- marut”, meningkatkan literasi hukum pidana menjadi kunci agar masyarakat dapat memahami hukum secara komprehensif. Seperti postulat hukum yang berbunyi “ubi societas, ibi ius” (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Maknanya, kehidupan sosial senantiasa beriringan dengan keberadaan hukum sebagai rambu-rambunya.

Lahirnya KUHP Nasional yang baru, adalah sebuah upaya mereformasi dan mereformulasi hukum pidana materiil yang selama ini digunakan dan merupakan peninggalan era kolonial, atau dengan kata lain dekolonialisasi hukum pidana nasional. Akan tetapi, apakah dengan adanya pembaruan KUHP sebagai upaya “dekolonialisasi” akan menjamin bahwa aturan yang terkandung di dalamnya sudah “sempurna” dan tidak akan menimbulkan “ketidakadilan”? Tentunya untuk menjawab hal itu, harus dikaji sejauh mungkin.

Pastinya, tidak ada produk hukum yang sempurna bila diciptakan oleh manusia.
Ada anggapan dari masyarakat yang masih merasa hukum pidana itu hanya urusan bagi “orang bersalah saja”. Padahal, dengan KUHP Nasional yang baru ruang tafsir menjadi lebih luas lagi. Pasal-pasal tentang penghinaan terhadap presiden, kohabitasi, perzinaan dan tindak pidana lain yang kontradiksi dengan kesusilaan bisa berdampak langsung pada kehidupan masyarakat secara umum. Tanpa literasi, seseorang bisa jadi pelaku kejahatan secara sengaja maupun tidak. Ketidaktahuan mengenai hukum, akan menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Berapa banyak masyarakat masuk bui karena tidak mampu menahan diri dan tidak mengetahui ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia. Misalnya dalam dunia maya, terkadang “jari jemari” tidak terkendali sehingga menimbulkan sebuah tindak pidana seperti pencemaran nama baik, berita bohong, bahkan kejahatan siber.

Pentingnya literasi hukum, khususnya hukum pidana, membantu masyarakat untuk mengetahui bahwa di tengah masyarakat ada hukum. Seperti dalam asas fiksi hukum, bahwa setiap orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure). Bagaimana mungkin masyarakat akan mengetahui tentang hukum, apabila tidak ada upaya untuk mencari tahun tentang hukum. Maka dengan adanya bahan literasi berupa buku dapat menjadi wadah agar masyarakat “melek” hukum sehingga terhindar dari tindak pidana.

Di sebuah negeri antah-berantah, tidak sedikit orang yang tersandung hukum bukan karena mereka berniat jahat, melainkan karena tidak memahami aturan yang menjeratnya. Sementara itu, tidak jarang pula yang lolos dari jerat hukum bukan karena tidak bersalah, melainkan karena lihai memanfaatkan celah aturan. Dalam realitas semacam itu, buku hadir sebagai penuntun, membuka kesadaran, memperkuat keberanian, dan menjadi perisai dari ketidakadilan yang tampak sah di atas kertas. Maka, pada momentum Hari Buku Nasional, semestinya masyarakat mulai membudayakan membaca buku tentang hukum, bukan untuk menjadi pakar, melainkan agar tidak mudah dibodohi oleh “oknum”. (*)

News Feed