Dalam pemaparannya, Soetarmi menyodorkan pendekatan khas yang relevan dengan identitas lokal: budaya Siri’. Nilai yang hidup dalam masyarakat Bugis-Makassar ini menurutnya bisa menjadi instrumen sosial yang kuat dalam menekan potensi korupsi sejak dini.
“Siri’ adalah rasa malu. Tapi lebih dari itu, ia adalah pengingat moral, dorongan untuk menjaga kehormatan pribadi dan institusi. Ketika seseorang korupsi, ia tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mencoreng harga diri keluarga, komunitas, bahkan daerah asalnya,” ujar Soetarmi.
Ia menambahkan bahwa pemahaman hukum tidak cukup hanya berdasarkan teks undang-undang. Diperlukan pendekatan kultural yang menyentuh nilai-nilai lokal masyarakat. Dalam konteks Sulawesi Selatan, Siri’ menjadi benteng moral yang relevan dan potensial untuk diinternalisasi dalam upaya pencegahan korupsi.
Lebih lanjut, Soetarmi menjelaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Karena itu, penanganannya memerlukan sinergi antar lembaga: Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi, kata dia, pencegahannya tidak bisa hanya dibebankan pada institusi hukum.
“Kita butuh penggerak dari berbagai lini, termasuk kampus. Mahasiswa dan dosen punya posisi strategis untuk ikut menyuarakan budaya antikorupsi. Bisa lewat riset, diskusi publik, hingga pengawasan sosial berbasis komunitas,” tegasnya.
Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda rutin Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel yang menyasar lembaga pendidikan sebagai mitra strategis dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Di tengah pertumbuhan kota Makassar sebagai pusat pendidikan dan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, pendekatan ini dianggap relevan dan adaptif. (edo)