Selanjutnya, reaction shock adalah memburuknya sentimen investor terhadap The Fed. Dimana investor memperkirakan bahwa The Fed akan bersifat agresif dengan menaikkan FFR. Langkah ini berdampak pada melemahnya kinerja ekonomi AS yang ditransmisikan ke EMEs melalui berbagai jalur, khususnya pasar uang.
Sementara, real shock adalah tekanan terhadap kenaikan suku bunga The Fed yang bersumber dari kegiatan ekonomi riil. Dimana, penguatan kegiatan ekonomi AS dapat menyebabkan peningkatan permintaan impor yang menguntungkan EMEs.
Peristiwa kedua dalam seminggu terakhir yang bersifat counter cyclical atau melawan siklus pelemahan ekonomi adalah kesepakatan tarif antara AS dan China. Dimana, kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif resiprokal dari AS dan tarif retaliasi dari China.
Pemerintah AS sepakat menurunkan tarif impor kepada China dari 145 persen menjadi hanya 30 persen. Sementara, pemerintah China bersedia menurunkan tarif retaliasi dari 125 persen menjadi hanya 10 persen.
Kebijakan The Fed dan kesepakatan tarif AS – China berdampak pada perkembangan harga saham global. Dimana indeks S&P 500 mengalami kenaikan sebesar 3,2 persen dan indeks Nasdaq naik 4,3 persen (BBC, 9/05/24).
Namun demikian, ketidakpastian perekonomian global tetap tinggi karena pemerintahan Trump masih memberlakukan tarif impor 30 persen terhadap China, menunggu keseriusan China melaksanakan reformasi hambatan tarif dan non tarif.
Singkatnya, negara EMEs, khususnya Indonesia, akan menghadapi regim suku bunga tinggi hingga tahun 2026. Dimana ekspektasi inflasi AS meningkat menjadi 2,7 persen tahun 2025 dan 2,2 persen tahun 2026, yaitu lebih besar dari target The Fed sebesar 2,0 persen. Inflasi AS diproyeksikan lebih kecil dari target The Fed pada tahun 2030, yaitu 1,9 persen.