English English Indonesian Indonesian
oleh

LAPSUS! Fakta Kekuasaan Tak Terwariskan

MAKASSAR, FAJAR — Kekuasaan tak bisa diwariskan begitu saja. Sejumlah pasangan petahana gagal melenggang pada Pilkada 2024.

Pilkada mencatat deretan kekalahan pasangan petahana yang kemudian saat ini sudah menjadi mantan incumbent. Baik istri, suami, hingga keluarga dekat yang gagal meyakinkan publik untuk meneruskan kendali pemerintahan.

Pilkada menorehkan sejumlah catatan penting, salah satunya adalah kegagalan para pasangan eks kepala daerah dalam mempertahankan tongkat kekuasaan, meski baru saja berstatus petahana. Status petahana bukan garansi membuat pasangan otomatis terpilih.

Beberapa di antara petahana mencoba mendorong pasangan hidup sebagai penerus kekuasaan, namun gagal meyakinkan pemilih. Ini sekaligus menjadi konklusi pragmatis bahwa kekuasaan tak selamanya berhasil merawat dirinya sendiri.

Hal ini sebenarnya bukan fenomena baru. Sejak Pilkada 2018, 2020, hingga 2024, fenomen pasangan petahana gagal merebut tampuk kekuasaan dari pasangannya telah tersaji.

Istri mantan Wali Kota Parepare Taufan Pawe, Erna Rasyid Taufan tidak berhasil memenangkan Pilkada 2024 meski sang suami baru saja menyelesaikan masa jabatan. Erna berpaket dengan Rahmat Sjamsu Alam. Erna-Rahmat meraih 24.785 suara, sementara pemenang Tasming Hamid-Hermanto (TSM-Mo) meraih 38.423 suara.

Di Makassar, Moh Ramdhan “Danny” Pomanto, Wali Kota Makassar dua periode, juga gagal mengantarkan istrinya, Indira Yusuf Ismail, sebagai penerus pada Pilkada 2024.

Paket Calon Wali-Wakil Wali Kota Makassar, Indira Yusuf Ismail–Ilham Fauzi Amir Uskara bahkan hanya menjadi peringkat ketiga. Munafri Arifuddin–Aliyah Mustika (Mulia) di peringkat pertama, disusul Andi Seto Asapa–Rezki Mulfiati di peringkat kedua, dan Amri Arsyid-Rahman Bando di peringkat keempat.

Berdasarkan rekapitulasi KPU, pasangan Mulia memperoleh 319.112 suara (54,72 persen). Posisi kedua ditempati Andi Seto Ghadista Asapa–Rezki Mulfiati Lutfi dengan 162.427 suara (27,85 persen), disusul Indira Yusuf Ismail–Ilham Ari Fauzi A Uskara 81.405 suara (13,96 persen), dan terakhir Muhammad Amri Arsyid–Rahman Bando 20.247 suara (3,47 persen).

Total suara sah tercatat sebanyak 583.191, sedangkan suara tidak sah mencapai 14.603, sehingga total pengguna hak pilih sebanyak 597.794. Dari jumlah tersebut, partisipasi pemilih mencapai 57,63 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.037.164.

Hal serupa dialami Muh Fauzi, suami Indah Putri Indriani yang kala itu menjabat Bupati Luwu Utara. Fauzi juga tidak berhasil melanjutkan tongkat pemerintahan dari pasangannya yang menjabat bupati dua periode.

Terjadi Lagi

Fenomena ini mengulang peristiwa serupa pada Pilkada Sidrap 2018. Saat itu, Rusdi Masse yang baru menuntaskan masa jabatan sebagai bupati gagal mendorong istrinya, Fatmawati Rusdi, untuk memenangkan kursi Bupati Sidrap.

Meski demikian, kekalahan Fatma ini menjadi titik balik untuk bangkit. Pada kontetasi demokrasi yang dia ikuti selanjutnya, semuanya berakhir dengan kemenangan. Mulai Pilwalkot Makassar 2020, lalu Pileg DPR RI 2024 via Partai Nasdem, dan terakhir Pilgub Sulsel 2024.

Sementara di Pangkep, Syamsuddin Hamid, meski telah menjabat sebagai bupati selama dua periode, gagal mengantarkan istrinya, Rismayani, sebagai wakil bupati pada 2020. Belakangan, baik Syamsuddin maupun Rismayani, memilih jeda dari politik.

Bedanya, pada 2024, Syamsuddin mencoba peruntungan via Pileg DPR RI melalui Partai Golkar, namun gagal terpilih.

Tak Cukup

Berdasarkan fenomena tersebut, pengamat politik, Nurmal Idrus menilai bahwa kekuatan dalam kontestasi politik daerah memang bertumpu pada figuritas calon. Tak ada garansi bagi pasangan, meski suami/istri berstatus petahana dua periode.

“Kekuatan figur yang berada di belakang kadang tidak cukup jika kemampuan elektoral figur utamanya lemah,” jelas Nurmal, pekan lalu.

Kegagalan ini juga sangat dipengaruhi oleh rekam jejak kepemimpinan para petahana. Sebab, hal tersebut menjadi salah satu faktor penentu. Mereka gagal merawat basis konstituen atau justru tak mampu meyakinkan bahwa pasangan mereka juga mampu.

“Kadang di periode kedua, petahana tidak lagi fokus pada program dan menjaga loyalitas pendukung. Itu memperlemah pengaruh mereka,” tuturnya.

Terkait pertanyaan apakah ini merupakan bentuk “keserakahan politik” karena hanya mendorong pasangan hidup, Nurmal menolak generalisasi tersebut.

“Tak bisa dikatakan sebagai keserakahan. Politik itu kesempatan dan peluang. Siapapun bisa maju. Tapi sebagian dari mereka lupa bahwa pengaruh elektoratnya sudah menurun,” ujarnya.

Analis politik Suharto menilai kegagalan para petahana mendudukkan keluarganya di panggung kekuasaan disebabkan oleh beberapa faktor krusial.

Selain faktor kejenuhan masyarakat terhadap dinasti politik, menurutnya, ada dinamika persepsi dan selera pemilih yang turut menentukan.

“Selain masyarakat jenuh, karakter kepala daerah dan pasangan atau keluarganya dianggap tidak sama. Itu memunculkan persepsi berbeda di kalangan pemilih,” ujarnya, pekan lalu.

Titik Balik
dari Kekalahan

Menariknya, tak semua kegagalan berakhir stagnan. Fatmawati Rusdi, misalnya. Meski kalah di Sidrap pada 2018, justru menjadikan kekalahan itu sebagai batu loncatan.

Ia kemudian terpilih menjadi Wakil Wali Kota Makassar, melaju ke DPR RI, dan kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Sulsel.

“Dia mungkin belajar dari kekalahan itu. Timnya juga belajar, dan menjadikannya modal penting untuk bertarung di kontestasi berikutnya,” tutur analis poltik, Nurmal Idrus.

Saat masih menjabat Wakil Wali Kota Makassar, dia harus mundur karena mengisi kursi caleg Nasdem untuk DPR RI periode 2024-2019. Dia lolos. Hanya saja, belum sempat duduk di Senayan, dia mendapat perintah baru: maju pada Pilgub Sulsel November 2024.

Dia pun berhasil menjadi Wakil Gubernur Sulsel mendampingi Andi Sudirman Sulaiman sebagai gubernur. Artinya, dalam dua periode musim kontentasi demokrasi, tiga keberhasilan ditorehkannya.

“Kami siap bekerja, membangun Sulsel yang maju dan berkarakter,” kata Fatmawati dalam sebuah keterangan.

Kepada FAJAR, Fatmawati Rusdi mengungkapkan rasa syukur dan komitmennya untuk menunjukkan dedikasinya kepada masyarakat Sulsel. Pada 2020, mencetak sejarah sebagai wakil wali kota perempuan pertama.

Pemilih Jenuh,
Perilaku Berubah

KEJENUHAN politik juga tergambar dari balik kekalahan pasangan petahana pada Pilkada 2024. Terjadi hijrah dukungan elektorat, yang bisa saja dipicu faktor tertentu.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Prof Firdaus Muhammad memandang bahwa kekalahan pasangan petahana pada Pilkada 2024 erat kaitannya dengan perubahan perilaku pemilih yang kini makin pragmatis.

“Perilaku pemilih kita sangat bervariasi,” ujar dosen yang meneliti gerakan politik NU pada disertasi program doktoralnya itu.

“Ada yang loyal dan emosional, ada yang rasional, dan belakangan semakin dominan adalah pemilih pragmatis,” lanjut Firdaus.

Fenomena ini menjadi salah satu penyebab tumbangnya banyak petahana, termasuk keluarga mereka pada Pilkada 2024. Pemilih tak lagi terikat pada hubungan emosional atau kesetiaan terhadap nama besar kepala daerah, melainkan pada kepentingan dan keuntungan praktis yang ditawarkan.

“Bahkan petahana saja bisa tumbang, apalagi keluarganya yang belum tentu punya daya tarik elektorat,” kata mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin itu.

Namun demikian, ada juga keluarga petahana yang berhasil terpilih. Keberhasilan itu bukan semata karena status mereka sebagai bagian dari klan politik. Ada daya tawar lain yang mereka miliki, sehingga menjadi kekuatan tersendiri.

“Mereka biasanya punya potensi ketokohan yang kuat, dan tentu saja didukung oleh kekuatan logistik atau finansial,” jelasnya.

Menurutnya, dinamika pemilih yang semakin rasional dan pragmatis menuntut para calon kepala daerah untuk tidak lagi hanya mengandalkan nama besar atau jaringan keluarga.

Figur yang kuat, program yang jelas, serta kemampuan mengelola sumber daya dan komunikasi politik yang baik kini menjadi kunci kemenangan.

“Pemilih kita makin cerdas. Mereka menilai siapa yang paling bisa memberikan harapan nyata, bukan sekadar nama belakang,” tutup Firdaus.

Pemilih Rasional

Analis politik Suharto Akrab Suharto menyebut masyarakat saat ini semakin rasional dan terbuka terhadap calon alternatif.

“Pemilih cenderung ingin mencoba figur baru. Mereka juga tergiur dengan munculnya calon-calon yang dianggap bisa membawa angin segar,” jelasnya.

Tak hanya soal figur, masyarakat juga kini lebih kritis terhadap kinerja kepala daerah sebelumnya. “Kinerja petahana jadi pertimbangan. Kalau dianggap tak memuaskan, maka pasangannya ikut terkena imbas,” kata Atto, sapaannya.

Menanggapi wacana soal siklus kejenuhan 10 tahunan terhadap satu klan tertentu, Atto membantah adanya pola baku seperti itu. Ia mencontohkan daerah-daerah yang justru berhasil mempertahankan pengaruh politik dalam jangka panjang.

“Di Gowa, sejak Pak Syahrul sampai ke Adnan, pengaruhnya tidak terputus selama 30 tahun. Jeneponto juga berhasil meloloskan ponakan bupati menjadi wakil bupati. Jadi ini tergantung konteks lokal,” katanya.

Sementara isu yang menyebut bahwa petahana enggan mendorong orang lain dan lebih memilih keluarganya sendiri dinilai bukan masalah besar.

“Itu hak konstitusional setiap orang. Memang banyak yang mendorong keluarganya, tapi ada juga yang tidak. Misalnya Pak Ilham Arief Sirajuddin dulu mendorong Danny Pomanto, bukan keluarganya,” ucapnya.

Atto melihat bahwa ini harus dibaca secara menyeluruh dan tidak disederhanakan sebagai bentuk keserakahan atau kegagalan semata. “Sebab dalam politik, segalanya kembali pada persepsi publik, kekuatan figur, dan momentum yang dihadirkan,” tuturnya.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa politik lokal tak selalu bisa diwariskan seperti estafet. Figuritas tetap menjadi kunci utama, dan pemilih kini tampaknya makin rasional dalam menentukan pilihan mereka. (sae/zuk)

Keluarga Mantan
Petahana Tumbang

Peristiwa 2024*

Erna Rasyid Taufan
-Istri Taufan Pawe
(Eks Wali Kota Parepare)

Indira Yusuf Ismail
-Istri Moh Ramdhan Pomanto
(Eks Wali Kota Makassar)

Muh Fauzi
-Suami Indah Putri Indriani
(Eks Bupati Luwu Utara)

*Tak Lanjutkan Kekuasan
-Pasangan mereka baru saja menyelesaikan tugas kepala daerah
-Rata-rata, pasangan mereka menjabat dua periode
-Pemilih memilih sosok baru sebagai kepala daerah

Peristiwa 2018*

Fatmawati Rusdi
-Istri Rusdi Masse (RMS)
(Eks Bupati Sidrap)

Bangkit
-RMS gagal mendudukkan sang istri sebagai penerus
-Namun, kegagalan ini menjadi momentum baru
-Fatma kemudian melenggang di Pilwalkot Makassar 2020, DPR RI 2024, dan Pilgub 2024

Peristiwa 2020

Rismayani
Istri Syamsuddin Hamid
(Eks Bupati Pangkep)

Kandas
-Syamsuddin menjabat bupati dua periode
-Sang istri kalah oleh ponakan, Muh Yusran Lalogau
-Karier politik Syamsuddin dan istri terjeda

Pemicu Kekalahan
-Pemilih membutuhkan sosok pemimpin baru
-Ada fase “stagnasi” pengaruh politik
-Kepala daerah gagal merawat basis konstituen
-Tak mampu meyakinkan pemilih
-Pemilih menganggap petahana dan pasangannya beda

Faktor Latah
-Ada kesan petahana latah kekuasaan
-Lebih mendorong pasanganm, ketimbang figur potensial lain
-Petahana juga sibuk dengan agenda politik baru
-Kosentrasi petahana terpecah

News Feed