Beberapa membagikan cerita, beberapa lagi memeriksa motor mereka, dan sisanya hanya diam—menikmati keheningan yang tak bisa ditemukan di kota.
Wakil Ketua XBI Makassar, Febrio Arya Budiman, duduk santai di atas hammock. Ia bercerita, bahwa ini bukan sekadar touring biasa.
“Setiap riding camp punya makna. Yang baru bergabung, harus menyelesaikan 100 kilometer riding untuk bisa resmi jadi anggota. Tapi lebih dari itu, ini tentang belajar saling jaga, saling peduli,” ucapnya sambil tersenyum.
Menjelang malam, langit Bantaeng bersih tanpa awan. Bintang-bintang muncul satu per satu, dan api unggun mulai menyala di tengah lingkaran kecil.
Suasana berubah hangat, bukan hanya karena api, tapi juga karena tawa-tawa yang membaur dalam gelap, diselingi bunyi gitar dan aroma jagung bakar yang menyebar.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan ringan ke Paring-paring. Di Kafe Kentang yang tersembunyi di ketinggian, mereka duduk menikmati sarapan dengan latar pegunungan dan kabut tipis.
Kopi Bantaeng mengepul di gelas, menambah suasana yang sulit dilupakan. Tak ada sinyal kuat di tempat itu, tapi siapa yang butuh ponsel ketika yang dibutuhkan justru momen yang nyata?
Bagi mereka yang ikut, perjalanan ini bukan hanya tentang menaklukkan jarak, tapi tentang menemukan rumah di tempat yang tak pernah mereka tinggali.(Wis)