English English Indonesian Indonesian
oleh

Turbulensi Ekonomi Masih Akan Berlanjut

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf / Chairman Asean Competition Institute – ACI

Menteri keuangan Amerika Serikat (AS), Scott Bessent mencoba meyakinkan investor pada konferensi tahunan Milken Institute, pada tanggal 5 Mei 2025, dengan menjelaskan bahwa Trump tariff hanyalah permulaan untuk membuat America Great Again. Masih ada agenda yang akan segera dilaksanakan, yaitu pemotongan pajak dan deregulasi.

Tiga kebijakan kunci Trump, yaitu tarif tinggi, pemotongan pajak dan deregulasi akan meningkatkan daya tarik berinvestasi dalam perekonomian AS dan mendorong pertumbuhan ekonomi AS dalam jangka panjang menjadi 3 – 3,5 persen per tahun. Tiga paket kebijakan ini akan mem-booster sektor manufaktur AS tumbuh tinggi. 

Paket kebijakan ekonomi Trump juga akan memberikan insentif pemotongan pajak terhadap aktivitas penelitian dan inovasi teknologi tinggi. Termasuk memberikan insentif pajak besar-besaran terhadap pembangunan pabrik baru yang akan menyerap banyak tenaga kerja. 

Selain itu, Presiden Trump mendorong agar The Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga Federal Fund Rate (FFR), suku bunga acuan AS. Tujuannya adalah untuk menyiapkan dana murah kepada investor untuk membuka pabrik baru di AS.

Namun, proyeksi inflasi AS sebesar 2,5 persen pada tahun 2025, lebih besar dari target The Fed sebesar plus minus 2,0 persen, sehingga diperkirakan suku bunga acuan The Fed yang akan diputuskan oleh rapat pimpinan The Fed pada Rabu, 7 Mei 2025, masih akan bertahan sekitar 4,25 – 4,50 persen. 

Sejalan dengan rencana presiden Trump di atas, dapat dipastikan bahwa hingga 2028, Trade War 2.0 dengan Trump tariff masih akan terus berlanjut dan menciptakan turbulensi dalam perekonomian global. 

Hal ini diperkuat oleh proyeksi International Monetary Fund (IMF) per April 2025 bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 akan mengalami kontraksi sebesar 0,8 persen dari perkiraan per Januari 2025 sebesar 3,2 persen menjadi hanya 2,4 persen. 

Demikian juga dengan tiga perekonomian terbesar di Asia, yaitu China, India dan Indonesia diperkirakan mengalami pelambatan pada tahun 2025. Dimana China pada tahun 2025 yang sebelumnya diperkirakan tumbuh 4,5 menjadi 4,0 persen, India awalnya diproyeksikan tumbuh 6,5 menjadi 6,2 persen dan Indonesia dari 5,1 menjadi 4,7 persen. 

Dimana, perekonomian AS sendiri yang menjadi episentrum turbulensi global mengalami pelambatan paling besar sekitar 0,9 persen dibandingkan dengan negara maju lainnya, yaitu dari 2,4 menjadi hanya 1,5 persen pada tahun 2025. 

Perekonomian Indonesia diproyeksikan oleh IMF akan kembali ke pertumbuhan normal, sama dengan pre Trump tariff sebesar 5,1 persen pada tahun 2030. Selama periode 2025 -2029, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan sekitar 4,7 – 4,9 persen. 

Berdasarkan proyeksi terbaru terhadap pertumbuhan ekonomi global dari IMF per April 2025 menunjukkan bahwa kerugian terbesar akibat rivalitas antara AS dengan China adalah perekonomian AS yang mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen dan China hanya 0,5 persen. 

Namun, dalam jangka menengah, proyeksi pertumbuhan China akan mengalami pelambatan hingga 2030 menjadi hanya sekitar 3,4 persen. Sementara perekonomian AS diperkirakan oleh IMF akan mengalami peningkatan pertumbuhan menjadi 2,1 persen. 

Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia menghadapi ambisi ekonomi Trump untuk membawa America Great Again dengan kebijakan tarif tinggi, pemotongan pajak dan deregulasi? Dimana, ambisi Trump akan berdampak pada turbulensi perekonomian global secara berkepanjangan.

Langkah pertama, dalam menyikapi kebijakan tarif tinggi hingga 32 persen terhadap produk ekspor Indonesia ke AS, pilihan untuk melakukan negosiasi dengan pemerintahan Trump harus disertai dengan upaya untuk mengundang perusahaan AS berinvestasi di Indonesia, khususnya pada produk teknologi tinggi. 

Langkah ini belum cukup, diperlukan upaya lain berupa transfer teknologi tinggi dari perusahaan AS dalam bidang otomotif, semikonduktor, pertambangan minyak, pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) langka, kendaraan listrik, dan lainnya.  

Langka kedua, menghadapi perubahan lanskap perekonomian global akibat Trade War 2.0, dimana tidak ada lagi perekonomian yang secara absolut dominan, pemerintah Indonesia dapat menjadikan ASEAN sebagai pijakan untuk masuk ke pasar global. 

Ide “ASEAN first” untuk menjadikan negara-negara ASEAN yang memiliki kesamaan ketersediaan SDA menjadi production based (basis produksi) untuk secara bersama-sama melakukan penetrasi ke pasar AS, Eropa,Timur Tengah dan lainnya. ASEAN brand akan bersaing dengan produk sejenis dari India dan China di pasar global. 

Langkah ketiga, pemerintah Indonesia tidak hanya fokus pada agenda perubahan jangka pendek tetapi juga perubahan struktural yang bersifat jangka panjang. Salah satunya, dengan mendorong program inovasi nasional melalui peningkatan pengeluaran research and development (R&D).

Langkah ini akan mendorong peningkatan pertumbuhan produktivitas (productivity growth) yang akan menjadi basis pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Reformasi struktural diperlukan untuk membawa pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 8,0 persen dalam lima tahun ke depan sesuai visi presiden Prabowo. 

Akhirnya, untuk mewujudkan hal ini, pemerintah Indonesia dapat membentuk Productivity Comission, seperti di komisi produktivitas Australia, yang tugasnya melakukan R&D dan memberikan saran kepada pemerintah terkait dengan produktivitas perekonomian nasional, khususnya sektor manufaktur. 

News Feed