English English Indonesian Indonesian
oleh

Babak Baru Kasus Penipuan Perbankan di Makassar: Terduga Pelaku Dilaporkan ke Polisi

Laporan ini awalnya di Polda Sulsel, tetapi dilimpahkan ke Polrestabes Makassar. Sudah satu tahun lebih tidak ada progres. Setelah saya cek ke Kejaksaan, ternyata SPDP-nya tidak ada. Makanya tiga penyidik kami laporkan ke Propam Polda Sulsel.

WIDYAWAN SETIADI
Makassar

Hatibu (64) gusar. Kasus dugaan penipuan yang menimpa dirinya tak kunjung menemui titik terang. Padahal, kasus itu sudah bergulir sejak 2023. Dia melaporkan perkara ini ke Polda Sulsel, dengan laporan perkara nomor LP/B/1145/XII/2023/SPKT/POLDA SULAWESI SELATAN, tanggal 15 Desember 2023.

Namun sampai hari ini, sudah berjalan satu tahun lebih, titik terang tak kunjung datang. Padahal perkara tersebut sudah cukup jelas dan terang benderang, terkait pelaku dan otak pelaku dari concursus ini.

Concursus dimaksud termasuk tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP), tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), tindak pidana perbankan (Pasal 49 UU Perbankan No 10 Tahun 1998, tentang pencatatan palsu, suap, dan prinsip kehati-hatian).

Termasuk juga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), karena mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara pada Bank BUMN di Takalar senilai Rp161 juta, akibat kredit macet.

Kerugian Hatibu sendiri tidak main-main. Nilainya ditaksir sekitar Rp468 juta. Itu adalah dana pensiun yang seharusnya dia terima. Setiap bulan, Hatibu seharusnya menerima Rp3,5 juta lebih. Tetapi karena tersandung kasus ini, dia hanya menerima Rp600 ribuan setiap bulan. Parahnya lagi, itu harus terpotong selama 13 tahun.

”Jadi kalau Rp3 juta saja setiap bulan, maka satu tahun seharusnya Rp36 juta. Kalau 13 tahun, kerugiannya sudah sampai Rp468 juta dong,” ujar Kuasa Hukum Hatibu, Maria Monika Veronika Hayr, kepada FAJAR , Kamis, 1 Mei, malam.

Maria membeberkan, pada laporan awal di Polda Sulsel, penyidik sudah mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan. Namun jaksa mengembalikan SPDP tersebut pada bulan November 2024, karena dianggap tidak ada progres. Namun hingga sekarang, SPDP baru tak kunjung terbit.

”SPDP ini penting, agar jaksa bisa memantau dan memonitor perkara yang dilaporkan untuk tahapan pra penuntutan. Jadi dengan tidak adanya SPDP, mengindikasikan bahwa perkara ini tidak ditangani dengan seriusi. Dugaan saya, ini tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan, karena sudah lebih satu tahun belum ada penetapan tersangka,” kata dia.

Atas kondisi ini, Maria menduga ada unsur pelanggaran kode etik, bahkan bisa menjadi obstruction of justice atau menghalang-halangi penyidikan. ”Makanya saya laporkan tiga penyidik itu, AKP J, Ipda DA, dan Briptu KA ke Propam Polda Sulsel, karena diduga melakukan perintangan penyidikan,” terangnya.

Kronologi Perkara

Perkara ini bermula ketika korban (Hatibu) didatangi oleh seseorang berinisial TI, sekitar September 2021 di Takalar. TI membujuk korban untuk melakukan take over kredit dari Bank BRI Takalar ke Bank Woori Saudara Makassar.

Tawaran TI ini muncul karena dia diduga mengetahui bahwa korban memiliki kredit pensiun yang sementara berjalan di Bank BRI di Takalar. Dengan iming-iming kredit tersebut bisa dilunasi dalam jangka waktu satu tahun dan uang pensiunnya bisa dicairkan, Hatibu terbuai.

”Maka diserahkanlah foto copy SK pensiun Pak Hatibu kepada TI. Kemudian TI menyerahkan foto copy tersebut kepada pihak yang diduga sebagai sindikatnya, FT,” kata dia.

Setelah itu, Hatibu diarahkan untuk membuka rekening baru di Bank BRI Slamet Riyadi Makassar, pada 1 Oktober 2021. Anehnya, buku tabungan dan ATM Hatibu dipegang oleh salah seorang karyawan Bank Woori Saudara Makassar YN.

”Dari pembukaan rekening ini saja sudah terlihat jelas adanya mens rea (sikap batin dari para sindikat atau unsur kesengajaan/perencanaan tindak pidana),” imbuhnya.

Kemudian, pada tanggal 5 Oktober 2021, terjadilah perjanjian kredit di Bank Woori Saudara Makassar. Saat itu, dana yang cair sekitar Rp195 juta rupiah. Akan tetapi, Hatibu hanya diberi Rp40 juta. Sisanya, tetap dipegang YN.

Setelah pencairan, para oknum tersebut mengajak Hatibu ke Bank BRI Galesong. Ini dianggap sebagai upaya mengelabui, sehingga Hatibu mengira akan terjadi pelunasan kredit pensiun. Mengingat, Bank BRI Galesong adalah bagian dari Bank BRI Takalar.

Di sana, kejadian janggal muncul lagi. Saat Hatibu dan para pelaku tiba di Bank BRI Galesong, dirinya tidak diizinkan untuk menghadap ke teller. Sehingga, penyetoran tersebut dilakukan oleh YN.

”Bulan depannya Pak Hatibu ditagih sama BRI Takalar. Tagihan itu datang terus sampai beberapa bulan. Akhirnya Pak Hatibu dan korban-korban yang lain digugat oleh BRI Takalar karena kredit pensiunnya tidak terbayar. Ternyata uang yang seharusnya dipakai melunasi kredit ditransferkan ke rekening beberapa sindikat mafia itu,” jelasnya.

Kata Maria, pihak yang menerima transferan paling besar adalah HA. Dia lah yang diduga menjadi otak dari aksi para sindikat tindak pidana perbankan tersebut.

”HA ini waktu itu tidak bekerja alias pengangguran, tetapi istrinya bekerja sebagai karyawan vendor di Bank Woori Saudara Makassar, inisial namanya FMG. Diduga dua orang inilah otak mafia sindikat kejahatan perbankan itu,” tutur Maria.

Maria juga membeberkan bukti slip pengiriman uang dari rekening Hatibu senilai Rp90 juta kepada HA, pada 5 Oktober 2021. Di dalam slip tersebut, ada keterangan dengan tulisan tangan, bahwa uang tersebut untuk pembayaran pelunasan pembelian mobil. ”Saya menduga uang tersebut yang ditransfer oleh YN kepada otak pelaku,” sambungnya.

Tidak hanya itu, di tanggal yang sama ada juga transaksi dari rekening Hatibu ke rekening NW senilai Rp48 juta. Sehingga, saldo awal yang ada di rekening Hatibu senilai Rp138.850.000 ludes. Hanya tersisa Rp31.100. Sebab, sudah ditransfer ke rekening BCA milik HA senilai Rp90 juta dan Rp48 juta ke rekening NW.

”Itu para anggota sindikat mafia, namun selisihnya diduga kuat diambil oleh si YN,” tuturnya.

Atas rangkaian kondisi ini, Maria menyayangkan proses penyidikan yang tidak menunjukkan progres sama sekali. Padahal menurutnya, perkara ini sudah sangat jelas. Bahkan para saksi juga sudah diperiksa sekaitan dengan kasus ini.

”Saksi-saksi semua sudah diperiksa, bukti-bukti juga sudah cukup. Namun sampai berjalan satu tahun lebih tidak ada perkembangan signifikan untuk penetapan tersangka. Kami merasa curiga, sehingga kami cek ke Kejari Makassar, ternyata SPDP tidak ada. Ini fatal,” ungkapnya.

Maria juga menegaskan, sindikat mafia ini sudah berulang-ulang melakukan aksinya. Artinya, hal ini bisa masuk dalam kategori perbuatan berlanjut, yang terus menerus dilakukan.

”Anehnya, kaki tangannya bisa berganti-ganti setiap kasus. Akan tetapi, semua kasus yang ada mengarah kepada FMG alias Butet. Sehingga diduga inilah yang bertindak sebagai otaknya,” tutupnya.

Penasihat Hukum Hatibu lainnya yang juga bagian dari Monika Hayr and Associates Advocate and Legal Consulting, Alfian Sampelintin menyampaikan, akibat kejadian ini, ada kerugian keuangan negara di Bank BRI Takalar senilai Rp161 juta. Itu karena dianggap sebagai kredit macet.

”Jadi karena tindakan para pelaku ini, di Bank BRI Takalar juga ada kerugian keuangan negara sebesar Rp161 juta. Ini dianggap kredit macet, karena para korban tidak bisa membayar kredit pensiunnya,” ungkapnya.

Alfian berharap, pihak Propam dan Paminal Polda Sulsel segera menindak oknum-oknum penyidik ‘nakal’. Sebab, hal itu bisa mencoreng citra baik dan menurunkan trust instansi kepolisian di mata masyarakat.

”Dimohonkan agar pihak Propam dan Paminal Polda Sulsel segera menindak para terduga oknum penyidik yang telah menyimpang tersebut. Agar citra kepolisian RI kian baik dan masyarakat juga bisa percaya terhadap lembaga hukum,” harapnya. (*)

News Feed