English English Indonesian Indonesian
oleh

Standar Ganda dalam Tragedi Gaza

Spektrum: Saharuddin Daming

Salah satu warisan moral yang monumental dari mendiang Paus Fransiskus adalah sikapnya yang tegas dalam menolak kekerasan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, kecaman beliau terhadap agresi militer yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel terhadap Jalur Gaza menjadi manifestasi nyata dari komitmennya terhadap prinsip just peace. Paus Fransiskus menyebut penderitaan rakyat Gaza sebagai “a human tragedy”, menggarisbawahi bahwa kekerasan terhadap warga sipil, terlebih anak-anak dan perempuan, adalah bentuk kebiadaban yang tak bisa ditoleransi dalam peradaban modern.
Setiap hari, tanah Gaza menjadi saksi bisu bagi duka kolektif umat manusia: jenazah anak-anak yang tidak sempat tumbuh dewasa dan para ibu yang menghembuskan napas terakhir dalam pelukan reruntuhan. Serangan udara dan artileri yang intens, dalam banyak kasus, menyasar area padat penduduk dan fasilitas sipil, termasuk rumah sakit dan sekolah, yang seharusnya dilindungi oleh hukum humaniter internasional. Prinsip distinction dan proportionality sebagaimana tercantum dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, telah diabaikan Zionis .
Profesor Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Palestina, menegaskan bahwa “the Israeli policies in Gaza amount to collective punishment, a war crime under Article 33 of the Fourth Geneva Convention” (Falk, 2014). Tindakan pemblokadean total terhadap suplai logistik makanan, obat-obatan, dan bahan bakar bukan hanya strategi militer, melainkan bentuk genosida struktural yang memperlihatkan upaya pemusnahan sistematis terhadap suatu kelompok berdasarkan identitas kolektif mereka sebagai bangsa Palestina.
Tidak heran jika Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, secara eksplisit menyamakan perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dengan Adolf Hitler. Pernyataan ini tentu bukan dimaksudkan sebagai retorika politik belaka, tetapi sebagai refleksi terhadap dehumanisasi yang terjadi—sebuah proses yang dalam studi genosida dikenal sebagai tahapan awal dari praktik pemusnahan massal (Stanton, “The Eight Stages of Genocide”, 1996).
Namun yang paling menyakitkan bagi umat manusia adalah diamnya banyak pemimpin dunia Barat, khususnya negara-negara yang selama ini mengklaim diri sebagai pelindung demokrasi dan hak asasi manusia. Ketika penderitaan rakyat Palestina tersaji di layar media global, negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat justru tampil sebagai pelindung rezim yang melakukan kekerasan tersebut. Dukungan penuh, baik secara politik, finansial, maupun persenjataan, diberikan kepada Israel tanpa syarat, bahkan ketika tindakan-tindakan mereka jelas-jelas bertentangan dengan prinsip jus cogens hukum internasional.
Rakyat Palestina dimata pemimpin AS dan Zionis tidak lagi dianggap sebagai manusia yang dilekati hak asasi yang wajib dihormati dan dilindungi oleh siapapun. Setiap upaya diplomatik untuk mengutuk kekerasan Israel di forum DK PBB nyaris selalu dimentahkan oleh veto AS. Praktik ini mencerminkan bentuk ketidakadilan global yang dikritik keras oleh banyak ahli hubungan internasional. Noam Chomsky, dalam bukunya Hegemony or Survival (2003), menyebut bahwa “U.S. foreign policy applies a consistent principle: support for regimes that serve U.S. strategic and economic interests, regardless of their human rights record.”
Standar ganda inilah yang menggerus kepercayaan masyarakat dunia terhadap institusi internasional. Ketika negara-negara seperti Libya, Irak, atau Serbia melakukan tindakan pelanggaran, meskipun dalam skala jauh lebih kecil, respons internasional berupa intervensi militer langsung dilakukan dengan dalih perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun dalam kasus Israel, kebijakan luar negeri AS justru menerapkan prinsip carrot and stick secara asimetris: “carrot” bagi negara sekutu, sedangkan “stick” bagi negara non sekutu.
Realitas ini mengingatkan kita pada kritik Edward Said dalam karyanya The Question of Palestine (1979), bahwa kebisuan internasional terhadap penderitaan Palestina bukan semata karena ketidaktahuan, melainkan bagian dari “structured neglect”—pengabaian yang terorganisir dan disengaja oleh sistem kekuasaan global.

News Feed