English English Indonesian Indonesian
oleh

PHK Massal di Bantaeng: SBIPE Serukan Peran Aktif Pemerintah Lindungi Buruh

FAJAR, BANTAENG-Momentum peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi Kawasan Industri Bantaeng (SBIPE-KIBA) menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi buruh di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang terjadi di industri smelter nikel Bantaeng.

Sejak awal akhir tahun 2024, perusahaan smelter di Kawasan Industri Bantaeng telah melakukan PHK terhadap puluhan buruh, dan menurut informasi internal perusahaan, jumlah ini dapat terus bertambah hingga menyentuh 30% dari total pekerja yang ada. SBIPE menilai bahwa kondisi ini bukan hanya ancaman terhadap stabilitas ekonomi keluarga buruh, tetapi juga menjadi sinyal darurat ketenagakerjaan yang menuntut respons cepat dan serius dari seluruh jajaran pemerintah.

Melalui Posko Perlindungan Pekerja KIBA yang diinisiasi oleh SBIPE bersama LBH Makassar dan Balang Institute, hingga hari ini tercatat sudah 50 buruh yang melaporkan dirinya sebagai korban PHK. Posko ini dibentuk sebagai bentuk tanggap darurat untuk membantu para buruh memperoleh pendampingan hukum dan memperjuangkan hak-hak normatif mereka.

Sebagian besar pengaduan yang masuk tidak hanya berkaitan dengan PHK sepihak, tetapi juga dengan belum dipenuhinya hak-hak dasar buruh seperti pesangon, sisa upah, hingga kekurangan pembayaran upah lembur. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap UU Ketenagakerjaan dan menunjukkan lemahnya kepatuhan perusahaan terhadap standar perlindungan buruh.

“Buruh bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan hak-haknya. Selain pesangon, perusahaan wajib menyelesaikan kewajiban atas kekurangan upah lembur yang selama ini belum dibayarkan,” tegas Junaid Judda, Ketua SBIPE-KIBA.

Tempuh Jalur Perundingan dan Hukum

Sejak awal terjadinya gelombang PHK, SBIPE telah menempuh serangkaian proses bipartit dan tripartit. Upaya ini dilakukan agar penyelesaian masalah dapat dicapai melalui dialog dan musyawarah. Dalam proses ini, SBIPE mengapresiasi peran aktif dan keterbukaan Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng yang selama ini menjadi jembatan komunikasi antara buruh dan manajemen perusahaan.

Namun demikian, SBIPE juga menyatakan bahwa jika proses perundingan tidak menghasilkan penyelesaian yang adil dan memadai, maka jalur hukum akan diambil. Untuk itu, SBIPE bersama LBH Makassar telah menyiapkan 12 pengacara yang siap mendampingi buruh hingga ke tingkat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

“Kami tidak menginginkan konflik. Tapi kami juga tidak akan membiarkan hak-hak buruh diinjak-injak. Kami sudah siapkan pengacara untuk mendampingi kawan-kawan buruh, agar perjuangan ini berjalan dalam koridor hukum,” tegas Junaid Judda.
Kewajiban Perusahaan Harus Dipenuhi

SBIPE menekankan bahwa seluruh buruh yang di-PHK berhak atas kompensasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yaitu: Uang pesangon, Uang penghargaan masa kerja, Uang penggantian hak, Pembayaran sisa upah, dan Pembayaran kekurangan lembur.

Seluruh hak tersebut merupakan kewajiban perusahaan yang tidak dapat dinegosiasikan apalagi diabaikan. SBIPE menyerukan kepada perusahaan untuk segera menyelesaikan seluruh kewajibannya agar tidak menambah penderitaan buruh dan keluarganya, yang kini berada dalam ketidakpastian ekonomi.
Dalam siaran pers ini, SBIPE juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh bersikap netral dalam menghadapi krisis ketenagakerjaan di Bantaeng. Pemerintah, dari tingkat kabupaten hingga pusat, harus mengambil peran aktif dalam melindungi buruh, mencegah PHK, memastikan perusahaan mematuhi hukum, dan memastikan perusahaan memenuhi seluruh hak pekerja.

  1. SBPIE mendesak Pemerintah dan DPRD membentuk tim pemantau khusus terhadap konflik ketenagakerjaan di kawasan industri Bantaeng dan menyusun langkah mitigasi sosial dan ekonomi, atas gelombang PHK massal yang sedang berlangsung.
  2. SBIPE menuntutDinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan mengawal penyelesaian kasus ini dan memastikan perhitungan kekuranga upah lembur seluruh pekerja dibayarkan oleh perusahaan.
  3. Kementerian Tenaga Kerja RI turun langsung ke lapangan untuk memastikan praktik ketenagakerjaan di smelter Bantaeng memenuhi standar hukum dan HAM.

PHK massal bukan hanya urusan hubungan industrial, tapi juga masalah sosial yang berdampak luas: pada kemiskinan, ketimpangan, kerentanan pangan, bahkan potensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga akibat tekanan ekonomi.
“Kami tidak ingin Bantaeng hanya menciptakan kawasan industri, tapi abai terhadap kepastian perlindungan bagi setiap buruh yang bekerja di kawasan industri serta jaminan kesejahteraan mereka. Pemerintah harus hadir secara aktif, tidak boleh hanya bertindak sebagai penengah yang menunggu datangnya masalah,” tambah Junaid.

Momentum Hari Buruh

Peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini diwarnai oleh suara buruh yang menuntut keadilan di tengah badai PHK. SBIPE menegaskan bahwa buruh bukan beban ekonomi. Mereka adalah tulang punggung, penggerak utama ekonomi. Buruh telah bekerja keras menopang produksi dan ekspor nikel yang membawa Bantaeng sebagai salah satuKabupaten dengam pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia.

SBIPE menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, mahasiswa, akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyuarakan solidaritas kepada buruh yang di-PHK dan ikut mengawal proses advokasi yang sedang berlangsung.

Gelombang PHK di Bantaeng adalah ujian bagi integritas hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Jika buruh dibiarkan menghadapi pemecatan tanpa kepastian hak, maka ini menjadi preseden buruk yang merusak sendi-sendi keadilan sosial.

SBIPE Kawasan Industri Bantaeng berkomitmen untuk terus mendampingi buruh, memperjuangkan hak mereka, dan memastikan bahwa peringatan Hari Buruh bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan yang dialami kelas pekerja. (*/)

News Feed