English English Indonesian Indonesian
oleh

Kaum Buruh dan Harapan yang Selalu Dijanjikan

Oleh: Yusran, S.Pd., M.Pd.
Guru Sosiologi SMA Islam Athirah Makassar

Di balik narasi besar tentang pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan kemajuan bangsa, terdapat kenyataan sunyi yang jarang benar-benar didengar, kaum buruh yang terus bekerja dalam tekanan, dengan hak-hak yang kerap terabaikan, dan dengan kesejahteraan yang sekadar menjadi janji.

Mereka yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan, justru masih diperlakukan sebagai alat produksi belaka. Tenaga mereka dimanfaatkan, waktu mereka diambil, dan kebebasan mereka dikikis demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir pemilik modal. Mereka adalah manusia, namun seringkali diperlakukan seperti roda gigi dalam mesin ekonomi yang dingin dan tak berperasaan.

Janji akan kebebasan, keadilan, dan perlindungan hak buruh memang terus digulirkan. Namun janji itu, bagi banyak buruh, tak ubahnya fatamorgana: tampak indah dari jauh, tapi hampa ketika didekati. Dalam praktiknya, mereka masih terjerat dalam sistem yang mencengkeram tanpa ampun sistem kapitalisme yang tak hanya menguasai instrumen ekonomi, tapi juga ruang hidup dan martabat manusia.

Pemerintah semestinya menjadi penengah yang adil. Negara, dengan seluruh perangkat hukum dan kekuasaannya, seharusnya berdiri di sisi yang lemah, memastikan bahwa hak-hak buruh tidak dikebiri oleh kepentingan pasar. Sayangnya, banyak kebijakan dan undang-undang yang lahir justru mencerminkan keberpihakan pada pemodal. RUU Cipta Kerja adalah salah satu contoh nyata. Penolakan besar-besaran oleh kaum buruh mencerminkan rasa frustasi atas kebijakan yang dianggap semakin merugikan mereka dari fleksibilitas jam kerja yang berlebihan hingga hilangnya kepastian dalam perlindungan hak-hak dasar.

Dalam situasi ini, pemikiran Karl Marx kembali menjadi relevan. Marx telah menggambarkan dengan tajam realitas ketimpangan dalam masyarakat kapitalis. Ia memperkenalkan konsep borjuis (pemilik modal) dan proletar (kaum buruh), serta menjelaskan bagaimana relasi antara keduanya bukan relasi yang setara, melainkan relasi kuasa di mana yang satu menguasai dan yang lain dikendalikan. Marx menegaskan bahwa dalam sistem kapitalisme, buruh bukan hanya dieksploitasi secara fisik, tetapi juga secara eksistensial.

Konsep alienasi yang diperkenalkan Marx merujuk pada keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari proses kerja itu sendiri, dan dari sesamanya. Buruh, dalam sistem ini, tidak lagi memiliki hubungan emosional atau makna terhadap apa yang mereka ciptakan. Mereka kehilangan makna dari kerja dan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Mereka menjadi terasing di tempat yang seharusnya menjadi ruang aktualisasi diri: tempat kerja.

Bukan berarti solusi harus selalu kembali pada revolusi atau penggulingan sistem. Namun gagasan-gagasan Marx dapat menjadi alat refleksi yang kritis sebuah cermin untuk melihat sejauh mana sistem yang kita anut hari ini telah menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Ini bukan semata soal ideologi, melainkan soal keadilan dan keseimbangan relasi sosial.

Dalam konteks ini, negara harus lebih dari sekadar regulator. Negara harus menjadi pelindung, pembela, dan penggerak perubahan. Negara harus menciptakan kebijakan yang berpihak, bukan hanya kepada angka-angka makro ekonomi, tetapi kepada manusia yang bekerja untuk mempertahankan hidup. Aturan dan undang-undang harus dilahirkan dari kepekaan sosial, bukan dari lobi-lobi kepentingan bisnis. Ketika ada perusahaan yang menindas buruh, negara harus hadir dan bersikap. Ketika ada buruh yang tidak mendapatkan haknya, negara harus turun tangan, bukan sekadar diam.

Momentum Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei seharusnya menjadi lebih dari sekadar ritual tahunan. Ini harus menjadi ruang evaluasi dan transformasi. Ini adalah saat di mana negara ditantang untuk membuktikan keberpihakannya secara nyata melalui tindakan, bukan hanya pernyataan.

Keberpihakan itu bisa diwujudkan dengan menciptakan sistem pengupahan yang adil, jaminan sosial yang menyeluruh, pengawasan ketat terhadap jam kerja dan keselamatan kerja, hingga perlindungan terhadap hak berserikat dan berorganisasi. Negara juga harus menyediakan ruang dialog yang sejajar antara buruh dan pemilik modal, agar suara buruh tidak hanya terdengar saat demonstrasi, tapi juga saat kebijakan sedang dirumuskan.

Ketika negara benar-benar hadir, ketika regulasi berpihak pada manusia, ketika sistem ekonomi dibangun di atas fondasi keadilan dan martabat, maka kaum buruh tak lagi menjadi korban. Mereka akan menjadi aktor sejati dalam Pembangunan bukan sebagai alat, tapi sebagai manusia yang utuh. Dan pada saat itulah, kita bisa mengatakan bahwa perjuangan buruh tidak lagi hanya tentang bertahan, tetapi tentang hidup dengan layak dan bermartabat. (*/)

News Feed