FAJAR, JAKARTA — Pembangunan sistem angkutan umum massal di kawasan perkotaan menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari kelembagaan, perencanaan, hingga pendanaan. Padahal, urbanisasi terus meningkat dan kebutuhan akan transportasi yang efisien menjadi semakin mendesak.
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam kampanye Pilpres 2023 menjanjikan subsidi transportasi umum, namun hingga kini janji tersebut belum juga terealisasi.
Menurut data Bappenas (2025), saat ini 56,7 persen atau sekitar 155 juta penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Angka itu diprediksi melonjak menjadi 70 persen pada 2045.
Pusat-pusat pertumbuhan diprioritaskan di 10 Wilayah Metropolitan (WM), yang kini menyumbang 44,34 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Targetnya, pada 2045 kontribusi mereka meningkat menjadi 48,92 persen.
Djoko Setijowarno, akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat melihat kondisi di lapangan menunjukkan belum adanya kelembagaan transportasi metropolitan yang mampu mengelola angkutan umum lintas batas administratif dan moda secara terpadu.
Proyek MRT seperti jalur North–South dan East–West masih terhenti di batas kota Jakarta karena tidak adanya koordinasi kelembagaan, sementara sebagian besar pengguna berasal dari wilayah Bodetabek.
Rencana Mobilitas Perkotaan yang menjadi dasar pengembangan sistem angkutan umum massal (SAUM) pun belum matang. Kapasitas fiskal daerah juga menjadi penghalang besar.