Solusi China
Ekonom senior Barry Eichengreen dari University of California, Berkley, AS menyatakan bahwa RMB masih ada peluang menjadi mata uang utama dunia tanpa harus mengubah rezim lalu lintas devisa dari rezim lalu linta terkontrol menjadi bebas. Tidak perlu mengubah rezim nilai tukar tetap menjadi fleksibel.
Pemerintah China dapat memaksimalkan pembayaran ekspor dan impornya menggunakan mata uang RMB. Dimana, hingga saat ini total nilai perdagangan China mencapai 12,8 persen dari Gross Domestic Product (GDP) global pada tahun 2024.
Nilai perdagangan China meningkat beberapa kali lipat sejak tahun 2000, yaitu dari hanya 476 milyar dolar AS, menjadi 6,163 trilyun dolar AS pada tahun 2024. Nilai eskpor China mencapai 3,575 triliun dolar AS dan impornya lebih kecil sekitar 2,587 triliun dolar AS. Dimana, hanya 20 persen pembayaran perdagangan internasionalnya dalam RMB.
Syaratnya, bank sentral China, People Bank of China (POBC) yang mengontrol nilai tukar RMB terhadap dolar AS dalam rezim nilai tukar tetap, harus memiliki cadangan dolar AS yang besar. Hal ini diperlukan untuk mengintervensi pasar dalam rangka menjaga kestabilan nilai tukar RMB terhadap dolar AS.
Solusi lain bagi China, sejalan dengan Frankel (2011) dan Prasad (2021), POBC melakukan liberalisasi sistem lalulintas devisanya. Menghilangkan sistem monitoring transaksi valas, menghilangkan pengaturan transaksi valas, baik dari sisi jumlah maupun tempat transaksi, dan menghilangkan pengaturan waktu transaksi valas.
Selain itu, POBC juga harus beralih dari fixed exchange rate regim menjadi floating atau managed floating exchange rate regim, seperti yang diterapkan di Indonesia. Perubahan ini akan menghindari tuduhan currency manipulation dari pemerintah AS yang telah memicu perang dagang dengan tarif resiprokal ekstra tinggi.