FAJAR, MAKASSAR– Busana etnik Indonesia kembali mencuri perhatian, di panggung internasional.
Christina Aritonang, desainer asal Makassar, sukses menampilkan lima karyanya, dalam ajang ASEAN Fashion Week Showcase 2025 di Chongqing, Tiongkok, yang digelar pada 29 April.
Koleksinya mengusung tema “Ethnic Elegance: Warisan Budaya dalam Balutan Modernitas”, dan tampil memukau di hadapan fashion enthusiast dari berbagai negara.
Koleksi Christina memperlihatkan keberagaman budaya Indonesia, yang dikemas dalam gaya kontemporer.
Setiap busana mengangkat filosofi dan cerita khas Nusantara, seperti Zamani dengan siluet klasik Baju Bodo ungu muda yang anggun, Cenning Rara dengan bordir emas di atas kain hitam elegan, hingga Anging Mammiri yang terinspirasi dari kelembutan angin Makassar melalui warna keemasan.
Sementara Geisha menjadi simbol eksplorasi lintas budaya, dengan warna biru elektrik dan bordir floral yang memikat, koleksi ditutup dengan Kebaya Janggan, kebaya bermotif marmer berpotongan tegas yang menyuarakan kebesaran budaya Indonesia dalam nuansa internasional.
Kelima busana ini menunjukkan bagaimana warisan tradisional bisa bertransformasi, menjadi karya fashion berkelas global.
Keterlibatan Christina di panggung Chongqing, berawal dari pertemuannya dengan model Deacy Hayer, yang kemudian merekomendasikan karyanya kepada Mr. Hayden Ng, pendiri ASEAN Fashion Designers Showcase (AFDS).
Setelah melihat koleksinya, Mr. Hayden tertarik untuk mengundang Christina, sebagai salah satu desainer yang mewakili Indonesia.
“Ini kesempatan yang luar biasa. Saya merasa sangat terhormat bisa memperkenalkan karya dari Indonesia Timur, terutama Baju Bodo, ke panggung internasional,” ujar Christina.
Ia menyebut, partisipasi ini bukan sekadar memamerkan busana, tapi juga membawa pesan budaya yang kuat.
Persiapan ke ajang ini tak lepas dari tantangan. Christina mengaku, cuaca menjadi kendala tersendiri menjelang acara.
“Saat persiapan, hujan deras sempat turun. Tapi menjelang acara utama, hujan berhenti. Rasanya seperti semesta mendukung perjalanan budaya ini,” katanya dengan lega.
Sebagai desainer asal Makassar, Christina merasa memiliki tanggung jawab moral, untuk membawa identitas lokal ke mata dunia.
Ia ingin menunjukkan, Baju Bodo, yang merupakan simbol keanggunan perempuan Bugis-Makassar, memiliki potensi besar, untuk tampil sejajar dengan busana etnik dari belahan dunia lain.
Selain Baju Bodo, Christina juga menampilkan interpretasi baru dari kebaya.
Ia percaya, setiap desainer memiliki pendekatan unik dalam merancang kebaya, dan dirinya memilih memadukan unsur modern dengan kekuatan etnik, agar lebih relevan di mata generasi muda.
“Kita harus terus mencintai budaya sendiri, tapi juga membuatnya mudah diterima lintas zaman,” ujarnya.
Christina menegaskan, karyanya bukan hanya soal estetika, tapi juga soal identitas, kebanggaan, dan narasi budaya.
“Setiap detail yang saya tampilkan mengandung cerita. Ini adalah bentuk diplomasi budaya yang saya bawa sebagai desainer Indonesia,” ucapnya penuh semangat.
Dengan kiprahnya yang konsisten mempromosikan busana tradisional, melalui sentuhan modern, Christina Aritonang terus menegaskan, fashion adalah medium penting dalam memperkenalkan keindahan budaya Indonesia ke panggung dunia.
Melalui pencapaian di Chongqing, ia berharap semakin banyak desainer Indonesia Timur, yang berani tampil dan bersuara di ranah internasional.(wis)