“Masyarakat sipil seharusnya tidak hanya menjadi objek pembangunan, melainkan juga subjek yang aktif,” tegasnya. Ia menyerukan konsolidasi antar-OMS untuk mempertahankan ruang demokrasi, memperkuat solidaritas, serta meningkatkan kapasitas organisasi dan kesadaran kritis masyarakat.
Sementara itu, Andi Manarangga Amir mengulas asal-usul lahirnya OMS yang berakar dari kebutuhan komunitas untuk bertahan dan hidup secara kolektif. Menurutnya, sejak awal masyarakat hidup dalam keterikatan erat dengan sumber daya alam di sekitarnya. Kesadaran ini memunculkan struktur sosial dan sistem pengelolaan berbasis komunitas yang mandiri.
“Organisasi masyarakat sipil tidak lahir dari desain negara atau institusi formal, tetapi dari inisiatif masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pembangunan komunitas harus berpijak pada tiga pilar utama: sumber daya, organisasi, dan norma. Ironisnya, fungsi-fungsi ini kini justru mengalami distorsi akibat intervensi negara yang tidak berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Dalam sesi tanggapan, Risvan, akademisi dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, menekankan perlunya pendekatan rasional dalam menyelesaikan persoalan sosial.
“Kita harus berhenti berpikir instan dan mulai mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan,” ujarnya.
Nurul Fajri, mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas), menyoroti kecenderungan pendidikan yang sekuler dan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Ia mendorong penguatan pendidikan karakter berbasis agama untuk mengurangi kasus kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan.