Oleh: Andi Shifa Salsabilla
Program Studi Kesehatan Masyarakat Unhas
Self-reward itu penting. Self-reward sudah menjadi bagian dari gaya hidup banyak orang, terutama anak muda yang lelah menghadapi tugas, pekerjaan, hingga tekanan sosial. Self-reward adalah tindakan individu mengapresiasi diri sendiri agar mendapatkan kesenangan dan kepuasan karena telah mencapai sesuatu. Berangkat dari hal tersebut kita semua butuh momen untuk mengapresiasi ataupun menghargai diri sendiri setelah melewati berbagai hal, seperti halnya hari yang berat, tugas yang menumpuk, berinteraksi dengan banyak orang, atau kerja keras yang membuat kita stress. Akan tetapi, kadang kala kita merasa “penghargaan” yang kita berikan ke diri sendiri justru membuat kita semakin boros, menyesal, atau berujung stress di kemudian hari. Secara tidak sadar, niat baik ini bisa berubah menjadi jebakan konsumtif yang dikenal dengan istilah toxic self-reward, ketika bentuk penghargaan diri berubah menjadi kebiasaan konsumtif yang tidak sehat.
Antara Mengapresiasi Diri atau Menjerumuskan Diri?
Coba kita refleksi momen setelah melalui hari berat, mungkin kita sering berkata dalam hati. “Aku pantas mendapatkan ini,” tanpa pikir panjang, langsung check-out skincare, baju, atau jajan fast food setiap hari. Sekali-kali memang tidak masalah. Namun, ketika self-reward berubah jadi kebiasaan impulsif, apalagi sampai membuat dompet menipis dan isi keranjang belanja semakin panjang, itu sudah menjadi alarm bahaya. Banyak dari kita yang akhirnya kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan sesaat. Padahal, tidak semua pembelian adalah bentuk apresiasi pada diri. Kadang, itu hanya bentuk pelarian dari stress yang belum teratasi dengan sehat. Menurut Survei Katadata Insight Center (2023), menunjukkan bahwa generasi milenial (20%) dan Gen Z (55%) mendominasi pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Survei GoodStats (2024) juga mencatat 12% konsumen Indonesia cenderung impulsif dalam berbelanja, tanpa pertimbangan kebutuhan nyata. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang, perilaku konsumtif ini dapat mengarah pada masalah finansial yang lebih serius.
Pengaruh Media Sosial
Media sosial juga mengambil peran besar dalam bentuk pola pikir terkait self-reward. Saat membuka media sosial, seperti instagram atau tiktok, kita disuguhi banyak konten promosi, tren haul, unboxing, hingga influencer yang mempromosikan self-love lewat belanja. Seakan-akan, cara mencintai diri yang valid hanyalah dengan belanja barang. Aktivitas ini diperparah dengan masifnya konten media sosial yang menormalisasi belanja impulsif sebagai bentuk self-love. Pembelian impulsif ini tidak lain karena terdorong oleh media sosial dan keinginan untuk merasa “worth it” setelah bekerja keras. Algoritma media sosial kini punya peran besar dalam mendorong kita untuk ikut-ikutan tren konsumtif. Padahal, tidak semua bentuk penghargaan itu harus bernilai materi.
Apakah Self-Reward itu Salah?
Memberi hadiah pada diri sendiri bukanlah suatu kesalahan. Justru, jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan pada waktu yang tepat, self-reward bisa menjadi bentuk apresiasi diri yang sehat. Self-reward itu baik selama dilakukan dengan bijak, sadar, terukur, dan tidak merugikan diri sendiri. Masalahnya, yang sering terjadi adalah kita kehilangan kendali dan lupa batas. Alih-alih sebagai bentuk apresiasi, self-reward justru menjuruskan pada toxic self-reward. Kita mulai mencari kenyamanan lewat belanja, bukan refleksi diri. Padahal, bentuk self-reward bisa sesederhana tidur cukup, nonton series favorit, atau sekadar me-time tanpa distraksi.
Self-Reward yang Sehat
Self-reward sebenarnya memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan mental, meningkatkan semangat kerja, serta memperkuat rasa puas terhadap diri sendiri. Jadi, bagaimana self-reward yang sehat? Kita bisa mulai langkah kecil dengan bertanya ke diri sendiri:
- Apakah ini benar-benar aku butuhkan?
- Apakah ini akan membuat aku bahagia dalam jangka waktu panjang?
- Apakah ini hanya pelarian sesaat?
Jika jawaban dari refleksi ini mengarah ke hal-hal impulsif, mungkin sudah saatnya mengubah bentuk penghargaan itu. Kita bisa menikmati self-reward, tetapi ingat harus dilakukan dengan bijak. Contoh bijaknya, kita bisa memberikan rules ataupun batas, misalnya hanya belanja setelah menyelesaikan satu target yang besar, ubah bentuk self-reward dengan istirahat cukup, nonton film, atau hangout bersama teman bisa jadi alternatif yang lebih sehat. Self-reward itu bukan tentang nominal, tapi soal niat dan dampaknya untuk diri kita sendiri. Self-reward itu soal mencintai diri. Jangan sampai cinta itu malah membuat kita kewalahan ataupun penyesalan di kemudian hari. Lebih dari itu, memberi apresiasi kepada diri sendiri merupakan bentuk penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, sekaligus mendorong motivasi untuk terus berkembang dan menghadapi tantangan berikutnya dengan lebih positif. (/)