Perjalanan ini membawakan saya menjejakkan kaki di salah satu mahakarya dunia — Taj Mahal. Dari kejauhan, bangunan megah berwarna putih gading itu berdiri anggun, seolah membisikkan kisah cinta yang melintasi zaman. Setiap lekuk, setiap ukiran, setiap marmer yang dipahat dengan teliti, mencerminkan kesungguhan hati dan kehalusan rasa manusia dalam merayakan cinta… dan lebih jauh lagi, dalam menyaksikan keagungan Sang Pencipta.
Taj Mahal dibangun pada abad ke-17 oleh Kaisar Mughal, Shah Jahan, sebagai tanda cinta kepada istrinya, Mumtaz Mahal. Kini, usia bangunan ini sudah lebih dari 370 tahun. Terletak di kota Agra, negara bagian Uttar Pradesh, India Utara, Taj Mahal menjadi magnet bagi jutaan peziarah keindahan dari seluruh dunia.
Saya termenung. Di balik keindahan buatan tangan manusia ini, betapa Allah menunjukkan kebesaran-Nya. Memberikan ilham kepada hamba-Nya untuk mencipta karya abadi. Setiap detail Taj Mahal seakan memuliakan kemuliaan Allah — bahwa segala yang indah di dunia ini hanyalah bayangan kecil dari keindahan surgawi.
Meski berada di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, pemerintah India bersama berbagai badan dunia seperti WHO (World Health Organization) aktif menjaga kesehatan masyarakat di sekitar Agra, termasuk mengelola polusi dan kesehatan lingkungan, agar warisan dunia ini tetap lestari dan tetap nyaman dikunjungi.
Romantika Taj Mahal bukan sekadar tentang cinta antara Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Lebih dalam, ia adalah pengingat tentang kefanaan dunia dan kekekalan cinta sejati di sisi Allah. Di pelatarannya, saya berdoa dalam hati, memohon agar cinta saya pada dunia tak melupakan cinta kepada Yang Maha Kekal.