FAJAR, MAKSSAR– LBH Makassar mendukung segala bentuk pemberantasan tindak kejahatan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Tindakan yang dilakukan oleh Tim Khusus Gabungan Intelijen Kodam XIV Hasanuddin yang melakukan penangkapan terhadap 40 orang terduga pelaku penipuan digital pada 24 April 2025 merupakan tindakan diluar kewenangan TNI.
Tindakan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) atas penangkapan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang karena kewenangan TNI bukan penegakan hukum melainkan pertahanan negara berdasarkan penjelasan Undang-undang TNI yang baru saja disahkan (UU No. 3 Tahun 2025) yang menjelaskan dengan tegas bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara dan mempertahankan keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kita menginginkan ada penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan yang merugikan masyarakat secara luas, namun tetap dalam koridor dan prosedur hukum yang berlaku. Tidak terdapat dasar hukum dan legitimasi yang sah bagi TNI untuk menjalankan tugas penegakan hukum, termasuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap warga sipil,” ujar Abdul Azis Dumpa, Direktur LBH Makassar.
Kekhawatiran publik atas dampak disahkannya UU TNI yang baru, kini semakin nyata. TNI mulai masif memasuki ruang-ruang sipil yang di luar tugas pokok dan wewenangnya. Lihat saja, belum lama ini anggota TNI mendatangi diskusi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, membubarkan berbagai aksi demonstrasi mahasiswa, hingga yang paling parah adalah penangkapan terhadap terduga pelaku tindak pidana yang mana itu adalah kewenangan aparat kepolisian.
Masuknya TNI di ruang sipil dengan melakukan penangkapan tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap warga sipil, mengingat kultur dalam tubuh TNI yang terbiasa dengan instrumen kekerasan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, akan muncul risiko serius berupa normalisasi Dwi Fungsi TNI yang berpotensi memicu pelanggaran HAM terhadap warga sipil secara lebih luas, sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu sebelum reformasi.
“Penangkapan yang dilakukan oleh TNI, sekalipun dengan dalih adanya pelaku kejahatan, tetap harus dilakukan sesuai dengan prosedur sistem peradilan pidana umum. TNI tidak memiliki wewenang untuk terlibat dalam proses tersebut. Pengambil alihan tugas kepolisian oleh pihak KODAM XIV Hasanuddin dalam kasus ini merupakan perbuatan melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang sehingga semua anggota TNI yang terlibat harus dievaluasi dan disanksi karena bekerja di luar fungsinya,” lanjut Abdul Azis Dumpa
Keterlibatan TNI yang merangsek masuk dalam ruang penegakan hukum memperbesar potensi pelanggaran HAM dan penyempitan ruang-ruang sipil, apalagi dengan kultur perang dan dominasi persenjataan yang dikuasai TNI akan memperkokoh impunitas di tubuh TNI. Hal ini dapat dipastikan TNI sulit disentuh hukum meskipun anggotanya melakukan pelanggaran hukum.
Kesewenang-wenangan TNI dalam penegakan hukum dalam melakukan penangkapan warga sipil menjadi bukti terhadap kembalinya dwifungsi militer yang masuk di ranah sipil, mengingat peristiwa di masa lalu telah menimbulkan berbagai pelanggaran berat HAM, seperti tragedi Tanjung Priok, tragedi Semanggi I dan Semanggi II, Pembunuhan Marsinah, Penghilangan paksa aktivis antara tahun 1996-1998, Penembakan massa aksi pejuang reformasi, DOM Aceh, dan berbagai tindakan pelanggaran HAM lainnya. (*/)