English English Indonesian Indonesian
oleh

Menjahit Asa: Kisah Intan dan Naval Modesty Taylor

Di kampung halaman, hari-hari terasa membeku. Tak ada kegiatan, tak ada penghasilan. Namun, seperti halnya sehelai kain kosong yang menunggu goresan, hidup selalu memberi ruang bagi siapa yang ingin berusaha.

Melihat kebutuhan masker kain meningkat drastis, Intan pun bergerak. Ia mengumpulkan sisa-sisa kain perca, menjahitnya menjadi masker, dan memasarkannya melalui media sosial serta grup WhatsApp. Tanpa diduga, pesanan datang dari berbagai penjuru. Tetangga, keluarga, bahkan orang-orang yang tidak pernah ia kenal.

“Saya sempat kewalahan. Sampai dibantu tetangga menjahit masker,” kenangnya sambil tersenyum kecil.

Nama itu dipilih dengan penuh makna. “Naval” sebagai penghormatan kepada dunia perkapalan, bidang ilmu yang pernah ia tekuni. “Modesty” adalah singkatan dari mode, fashion, style. Dan “Taylor” bukan salah ketik, tapi penyesuaian dari “tailor”, sang penjahit.

Bersama suaminya, Victor B Tangkedatu, Intan mulai membangun merek. Tapi ia sadar, menjahit baju adat Toraja tak bisa asal-asalan. Ada aturan, ada makna filosofis di tiap motif, di tiap potongan kain.

Ayahnya kembali menjadi cahaya penuntun. “Belajar dari 38 pintu penjahit,” pesan beliau.

Maka, satu per satu pintu bengkel jahit di kampung ia ketuk. Kadang hanya menonton, kadang membantu memasang kancing, menyapu lantai, asal bisa mengintip ilmu dari tangan-tangan terampil itu.

Sedikit demi sedikit, Intan mulai mengerti. Bahwa motif pada lengan kanan tidak boleh sama dengan kiri. Bahwa pola depan dan belakang harus selaras. Bahwa pilihan benang, teknik jahitan, bahkan cara melipat kain pun memiliki makna tersendiri.

News Feed