Sampai akhirnya, suara ayahnya memanggil dari Toraja, meminta pulang. “Lanjutkan S-2, Nak. Bapak yang biayai,” begitu kira-kira pesan sang ayah.
Maka, dengan hati yang masih gamang, Intan kembali ke Makassar. Ia mendaftar kuliah magister, meski awalnya masih harus bolak-balik Makassar-Balikpapan demi pekerjaan. Namun hidup tidak membiarkan orang yang setengah hati berjalan di dua perahu. Akhirnya, Intan memutuskan berhenti bekerja dan sepenuhnya fokus pada kuliah.
Awal 2019, saat masa libur panjang tiba, rasa hampa datang menyerang. Terbiasa sibuk, ia tak bisa diam di rumah begitu saja. Suatu malam, dalam percakapan sederhana lewat telepon, sang ayah kembali memberinya petunjuk, “Ikutlah kursus menjahit,” ucap intan menirukan perkataan ayahnya.
Intan menurut, meski menjahit terasa asing baginya. Seorang teman memberitahu bahwa Balai Latihan Kerja (BLK) Makassar membuka kursus menjahit, namun harus melalui tes seleksi. Dengan penuh keberanian atau mungkin sedikit kenekatan ia mendaftar.
Saat ditanya pada hari tes apakah bisa menjahit, Intan mengangguk mantap. “Bisa,” jawabnya, padahal sebatang jarum pun belum pernah benar-benar ia pegang.
Ajaibnya, ia lolos. Dan hari-hari baru pun dimulai: pagi kuliah di Gowa, siang hingga sore kursus menjahit di Makassar, semua ditempuh naik sepeda motor. Keringat dan lelah tak membuat semangatnya luntur.
Tahun 2020 datang membawa badai. Pandemi Covid-19 mengguncang dunia. Wisuda magister Intan yang seharusnya megah, harus digelar secara daring. Dua hari sebelum lockdown resmi diberlakukan, ia buru-buru pulang ke Toraja.