Koordinator DPP GPEI Wilayah Sulawesi dan Maluku ini juga menyoroti faktor eksternal yang memperburuk situasi, seperti kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat terhadap sejumlah produk logam dan mineral strategis.
“Tarif yang tinggi bisa membuat buyer bahkan menurunkan volume pesanan bahkan bisa saja membatalkan, sehingga para pengusaha terpaksa harus menurunkan produksi untuk menyiasati cost dan efeknya terjadi pengurangan tenaga kerja,” jelas Arief.
Ketua IKA Pascasarjana STIEM Bongaya ini menambahkan bahwa kebijakan ini menyebabkan meningkatnya biaya logistik dan produksi, yang akhirnya berdampak langsung pada margin keuntungan dan berisiko menyebabkan pemutusan hubungan kerja di sektor industri.
Menurutnya, eksportir menghadapi tantangan ganda yakni tekanan dari luar negeri serta belum optimalnya sistem dukungan dalam negeri. Maka dari itu hal tersebut perlu dioptimalkan.
“Kita ini seperti bertarung tanpa pelindung di pasar global. Padahal pelaku usaha butuh insentif, fasilitas pembiayaan yang ringan, dan jaminan pasar alternatif,” ujarnya.
Meskipun tantangan terus berdatangan, Arief tetap menyampaikan harapan positif terhadap kinerja ekspor Sulsel di sisa tahun 2025. Ia menilai tahun ini bisa menjadi momentum penting untuk merumuskan ulang strategi ekspor nasional dan daerah.
“Saya berharap pemerintah daerah dan pusat bisa memberikan dukungan lebih konkret, seperti pemberian subsidi atau premi ekspor, insentif pajak, hingga pembukaan jalur diplomatik dagang ke negara-negara baru,” jelasnya.