English English Indonesian Indonesian
oleh

Muswil PAN Sulsel: Menekan Konflik vs Mengekang Demokrasi

Oleh: Usman Lonta

Musyawarah Wilayah (Muswil) Partai Amanat Nasional (PAN) Sulawesi Selatan akan menjadi sorotan public. Kenapa? Partai berlambang matahari ini akan menggelar Musyawarah Wilayah pada Minggu pertama bukan Mei 2025 yang akan datang.

Menjadi sorotan, bukan hanya karena dinamika pemilihan ketua wilayah, tetapi juga karena tarik-ulur antara kepentingan menjaga stabilitas dan menjaga nafas demokrasi partai. Tema ini menjadi penting, terutama dalam konteks PAN sebagai partai reformis yang lahir dari semangat keterbukaan dan partisipasi publik. Dalam konteks ini beberapa pertanyaan/pernyataan yang agaknya relevan menjadi renungan adalah .

Pertama, Muswil: Konsolidasi atau Sekadar Formalitas?

Di banyak daerah, termasuk Sulawesi Selatan, Muswil seharusnya menjadi forum tertinggi di tingkat wilayah untuk mendengarkan aspirasi kader, mengevaluasi kinerja, serta memilih pemimpin yang benar-benar diinginkan oleh konstituen partai. Namun, dalam praktiknya, Muswil acapkali “disterilkan” dari perdebatan. Calon ketua sudah ditentukan sebelumnya, mekanisme muswil hanya tinggal ketuk palu.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah PAN Sulsel sedang membangun soliditas atau justru menggerus semangat demokrasi internal?

Kedua, Menekan Konflik: Alasan atau Alibi?

Dewan Pimpinan pusat seringkali mendalilkan bahwa penunjukan langsung atau pembatasan kontestasi dilakukan demi mencegah perpecahan. Di daerah seperti Sulsel, di mana dinamika politik lokal sangat cair dan penuh faksi, memang ada risiko konflik horizontal. Tapi jika penanganannya adalah dengan membungkam aspirasi, maka itu bukan meredam konflik—melainkan menumpuk bom waktu. Ibarat api dalam sekam yang setiap saat akan menghidupkan bara konflik

Ketiga, PAN Sulsel Butuh Demokrasi yang Terstruktur, Bukan Tersumbat

Yang dibutuhkan PAN Sulsel bukan sekedar menekan konflik, tapi mengelola dengan sebaik-baiknya. Transparansi dalam proses, keterbukaan komunikasi, dan penghormatan terhadap aspirasi lokal adalah fondasi demokrasi yang sehat sehat. Dengan fondasi tersebut, PAN akan tetap ingin tetap relevan di mata masyarakat Sulawesi Selatan, partai ini harus menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola perbedaan—bukan menutupinya.

Ada ungkapan yang sangat menohok untuk menghidupkan demokrasi di Sulawesi selatan. Ungkapan tersebut sangat populer dalam Bahasa Makassar “siri’na tumabbuttayya niaki ri pammarentayya, pa’rupanna gauka niaki ri tau jaiya, parentai tauwa ri ero’na” artinya Harkat dan martabat masyarakat berada di tangan pemerintah, pelaksanaan krbijakan berada pada suara mayoritas, dan perintahlah menusia sesuai dengan harapan dan keinginannya.

Keempat, Muswil semestinya menjadi ruang partisipatif, bukan panggung aklamasi.

Demokrasi bukan musuh stabilitas. Justru dengan ruang demokratis, loyalitas kader bisa tumbuh secara alami. Jika PAN Sulsel ingin tumbuh sebagai kekuatan politik yang solid, maka kepemimpinannya harus lahir dari proses yang dipercaya semua pihak.

Musyawarah Wilayah (Muswil) Partai Amanat Nasional (PAN) Sulawesi Selatan seharusnya menjadi momentum konsolidasi dan perumusan program kerja sesuai platform, visi, misi, dan garis perjuangan partai . Namun, mencermati agebda Muswil kali ini, publik dan kader justru disuguhi tarik-ulur kepentingan elit. Kondiri ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah partai sedang menjaga stabilitas, atau justru mengekang demokrasi?

Kecenderungan Penunjukan ketua wilayah secara tertutup atau terbatas tanpa melalui proses demokrasi yang sehat atas nama “menekan konflik” telah menjadi pola yang berulang. Dalam konteks Sulsel—dengan dinamika kader yang kuat dan beragam mulai dari zona selatan-selatan, Bone, soppeng dan wajo (Bosowa), Luwu Raya, hingga aja’tappareng, dan Toraja, — langkah seperti ini lebih banyak menimbulkan kekecewaan daripada konsolidasi.

PAN lahir dari rahim reformasi. Maka semangat demokrasi seharusnya bukan hanya jargon, tetapi dipraktikkan dalam setiap prosesnya—termasuk dalam Muswil. Ketika kader tak diberi ruang berkompetisi atau menyuarakan aspirasi, maka Muswil kehilangan makna. Ia menjadi forum formalitas, bukan lagi ruang pengambilan keputusan yang elegan.

Menjaga partai dari konflik memang penting. Namun, konflik yang lahir dari perbedaan bukanlah musuh, selama dikelola dengan adil dan terbuka. Yang justru membahayakan adalah saat suara-suara lokal dipinggirkan dengan dalih stabilitas. Tafsirannya akan melebar demi kepentingan elit dan pembungkaman demokrasi.

PAN Sulsel tidak boleh takut pada demokrasi. Justru dari dinamika yang sehat, lahir loyalitas dan kepercayaan kader. Oleh karena itu, Muswil kali ini perlu dirancang sebagai ruang partisipatif, bukan sekadar panggung aklamasi.

Menurut saya partai politik yang kuat bukan partai politik yang bebas dari konflik, tapi yang mampu mengelola perbedaan dengan cara yang demokratis. (*/)

News Feed