FAJAR, MAKASSAR — Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkonmemunculkan awan gelap di atas perekonomian global. Eskalasi perang tarif yang terjadi sejak awal tahun kini mulai menunjukkan dampak nyata.
Laporan World Economic OutlookApril 2025 yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya akan mencapai 2,8 persen tahun ini. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan proyeksi awal sebesar 3,3 persen.
Bahkan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, menyebut penurunan proyeksi ini merupakan konsekuensi dari perang tarif yang semakin intensif, khususnya akibat tindakan retaliasi dari kedua belah pihak. Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan tarif secara timbal balik antara AS dan Cina tidak hanya memukul volume perdagangan internasional, tetapi juga memperburuk sentimen pelaku usaha serta memperparah disrupsi rantai pasok global.
Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Abdul Muttalib Hamid, menilai bahwa kondisi global saat ini mengharuskan Indonesia untuk mengandalkan kekuatan domestik sebagai tameng menghadapi tekanan eksternal. Di saat perekonomian global melemah, strategi pemerintah seharusnya fokus pada penguatan daya beli masyarakat, pemberdayaan sektor riil, dan akselerasi belanja negara yang produktif.
Menurutnya, pengaruh langsung dari perang tarif memang belum sekuat negara-negara yang bergantung pada ekspor ke AS atau Tiongkok. Namun, dampak tidak langsung seperti berkurangnya permintaan global, naiknya harga bahan baku, serta tekanan pada nilai tukar tetap harus diantisipasi secara serius.