FAJAR, BONE– Sebut saja Ahmad salah seorang kepala desa (kades) di salah satu kecamatan di Kabupaten Bone. Siang itu ia tengah disibukkan dengan dokumen administrasi desa yang menumpuk di mejanya.
Ketukan terdengar dari balik pintu, dengan santai seorang pria masuk, Ahmad masih bisa melihat pandangan sinis stafnya yang melirik sang pria sebelum pintu ia tutup.
Seolah sudah terbiasa, sang pria lantas mengambil posisi duduk di hadapan Ahmad. Keduanya sempat bertukar sapa sebelum memulai perbincangan.
Ahmad dengan sabar meladeni perbincangan yang dibuka sang pria. Sesekali ia memperhatikan ID card bertuliskan “pers” yang pria itu gantung tepat di depan dadanya. Tak berselang lama, stafnya masuk sembari menyuguhkan kopi hitam kepada pria tersebut.
Ditemani kopi, cukup lama keduanya berbincang. Sejurus kemudian ia mengeluarkan beberapa dokumen yang dibungkus dengan map plastik dari tas.
Dokumen yang sudah cukup lusuh, beberapa dari carik kertas itu nampak telah dibubuhi tanda tangan dengan stempel biru. Ada pula tumpukan tabloid dan koran-koran tua. Ia dengan teliti membuka lembaran demi lembaran, mencari dokumen di atas tumpukan kertas itu, hingga ia menemukan secarik yang dicarinya.
Sang pria kemudian menunjuk beberapa data yang tercantum sembari mengeluarkan beberapa koran tua dan memperlihatkan berita yang diklaim telah dimuatnya. Percakapan pun pelan-pelan mulai terasa berat, kata-kata mulai dibubuhi ancaman.
“Nda saya bikin ji ini petta desa, aman ji itu, asal ada pembeli rokok,” ujar sang pria.
Ahmad dengan berat hati merogoh dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk diserahkan kepadanya.
Praktik premanisme ini bukan cerita fiksi, melainkan kisah nyata yang dihadapi oleh kepala-kepala desa di Bone. Oknum mengatasnamakan diri sebagai “wartawan” hingga “LSM” kerap kali mengancam dan memeras kepala desa.
FAJAR mencoba mengonfirmasi beberapa kades, ke semuanya mengakui bahwa aktivitas ini setidaknya terjadi dua hingga empat kali dalam sepekan di lingkup kantornya.
“Selalu ada itu, memang selalu kita didatangi, bukan cuma kantor desa, rumah bahkan sampai sekolah,” ujar salah satu kepala desa di Bone kepada FAJAR, Kamis, 24 April 2025.
Mereka pun dilengkapi dengan ID card hingga atribut pers seperti media profesional pada umumnya. Ia mengaku kerap menerima ancaman apalagi jika oknum ini tak dilayani dengan baik dan permintaan mereka tak dipenuhi.
“Begitu bahasanya, kalau kita tidak kasi, dia ancam mau dibuatkan berita. Biasanya juga dia nda tau data dari mana dia ambil, dia seolah tahu anggaran yang dipakai, dan mulai dipertanyakan, apa yang dibangun, kenapa begini dan seterusnya,” sambungnya. Intensitas kedatangan dan permintaan ini pun kata dia kian tinggi kala tiba hari-hari raya yang mana surat dan perminataan THR juga menumpuk sangat banyak.
Acap kali pemerasan ini juga dilakukan oleh oknum tersebut via telepon. Mereka kerap meminta untuk diisikan pulsa, hingga ditransferkan sejumlah uang.
Selain itu, beberapa oknum lainnya juga kerap menawarkan iklan bodong pemberitaan dari kisaran harga Rp500 ribu hingga Rp2 juta, namun justru berita-berita yang diharapkan tersebut tak pernah ada.
“Tidak ada yang dimuat, nda pernah ada, bodong. Intinya dia cari uang saja. Pernah saya coba periode pertamaku, katanya dia mau ditampilkan di media nama saya, tapi tidak ada juga,” keluhnya.
Kepala desa lainnya yang juga coba dimintai keterangan mengakui kondisi serupa terjadi di desanya. Aktivitas ini pun rutin terjadi setiap pekannya.
Ia mengaku cukup kesulitan membedakan identitas mereka, apakah mereka jurnalis asli atau bukan. Dengan ID card yang dibawanya. Mereka juga kerap membawa kalender untuk dijual dengan harga yang cukup tinggi.
“Kalau ada datang terus minta kita juga susah. Dia bilang bantu saya dulu Pak Desa, dan sebagainya,” ucapnya.
Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman pun menyoroti fenomena maraknya pemerasan oknum LSM dan media palsu yang berkeliaran di tingkat desa.
Andi Asman pun mengaku telah meminta untuk para kades tak melayani permintaan mereka. Ia mengaku akan mengatur agar hanya wartawan yang benar-benar telah direkomendasikannya yang hanya boleh dilayani kepala desa.
“Jadi ada yang berkeliaran atas nama media LSM, bukan media, bukan LSM, ini yang kita jaga (agar tidak berkembang),” jelasnya. (an/*)