Oleh: Andi Isnaniah Ramadani Agung
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, FKM Unhas
Di era digitalisasi saat ini, minuman bukan hanya sebagai pelepas dahaga. Namun, telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pelengkap estetika unggahan media sosial, bahkan sebagai tiket untuk masuk lingkaran tren kekinian. Dari Caffe kekinian hingga warung pinggir jalan, minuman seperti boba, minuman soda, dan aneka “drink aesthetic” lainnya merajalela di lini masa media sosial. Ditambah lagi, dengan adanya fenomena Fear Of Missing Out (FOMO) Caffe atau rasa takut ketinggalan momen nongkrong di tempat hits sambil memegang gelas minuman berwarna mencolok, kini marak di kalangan generasi Z.
Warna-warna cerah, topping menggemaskan, dan kemasan yang fotogenik menjadi magnet utama. Tapi di balik daya tarik visual itu, terdapat risiko kesehatan yang kerap terabaikan seperti gula berlebih, pewarna sintetis, dan zat aditif lain yang tidak ramah bagi tubuh. Pertanyaannya, apakah demi citra dan eksistensi media sosial sesaat ini, sepadan dengan ancaman jangka panjang bagi kesehatan?
Banyak minuman berwarna memiliki kadar gula yang jauh melebihi kebutuhan harian. Menurut World Health Organization (WHO), asupan gula tambahan sebaiknya tidak melebihi 10% dari total energi harian atau sekitar 50 gram per hari untuk orang dewasa dan 25 gram untuk anak-anak. Sayangnya, satu gelas minuman kekinian bisa mengandung hingga 70 gram gula, atau bahkan lebih. Bagi generasi Z yang masih dalam tahap perkembangan fisik dan mental, konsumsi gula berlebih meningkatkan risiko obesitas, diabetes tipe 2, dan gangguan metabolik di usia muda.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI (2023), prevalensi obesitas pada remaja usia 13–15 tahun telah mencapai 16%, naik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu kontributor utama adalah tingginya asupan gula dari minuman manis, termasuk boba tea, soda, dan kopi susu kekinian yang sering kali mengandung lebih dari 50–70 gram gula per sajian.
Bukan hanya gula, minuman berwarna juga sarat dengan zat pewarna sintetis seperti tartrazine (E102) dan sunset yellow (E110). Zat-zat ini dengan hiperaktivitas, alergi, dan bahkan potensi gangguan sistem saraf jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu panjang. Meski masih dalam batas wajar menurut regulasi pangan, intensitas konsumsi yang tinggi pada generasi Z menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Jika tidak ada intervensi dini, hal ini dapat menimbulkan beban ganda: generasi Z yang secara visual tampak “trendy”, namun menyimpan risiko kesehatan yang besar di baliknya. Terlebih lagi, rendahnya literasi gizi di kalangan generasi Z membuat mereka tidak memahami dampak konsumsi berlebihan ini. Banyak dari mereka belum memahami komposisi nutrisi atau membaca label kandungan dengan kritis serta gempuran pemasaran digital yang agresif menjadikan minuman berwarna sebagai “racun manis” yang dikonsumsi.
Strategi marketing yang dibalut tren FOMO turut memperparah fenomena ini. Padahal, edukasi gizi sangat penting agar mereka bisa membuat pilihan konsumsi yang lebih bijak. Ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, edukasi gizi harus dimulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga dan sekolah hingga ke ranah kebijakan publik. Pemerintah perlu lebih tegas dalam regulasi iklan dan komposisi minuman berpemanis yang menyasar generasi Z. Industri makanan dan minuman juga perlu didorong untuk berinovasi dalam menyediakan produk yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga aman dan sehat.
Sudah saatnya generasi Z diberi ruang untuk kritis terhadap apa yang mereka konsumsi. Edukasi yang inklusif, mudah dipahami, dan relevan dengan gaya hidup mereka adalah kunci utama. Bukan hanya soal melarang, tapi memberikan alternatif yang sehat dan menarik. Karena menjadi sehat seharusnya juga bisa terlihat keren bukan sekadar viral. (*/)