“Dia sahabat saya, semua orang tahu itu. Sejak masih kecil, saya sudah main bola sama dia. Dulu di Mamajang, semua tanah lapang sudah kami pakai bermain bola.”
WIDYAWAN SETIADI
Makassar
Rabu, 23 April, sekitar pukul 06.00 pagi, ponsel Najib Latandang berbunyi. Banyak rekan-rekannya yang menghubungi.
Saat itu, Najib mengaku baru bermain dengan cucunya, di Jakarta. Dia tidak menyangka, kabar duka terdengar dari seberang telepon. Sahabat lamanya, Abdi Tunggal, menghembuskan nafas terakhirnya di RS Bhayangkara, Kota Makassar.
“Saya kaget bukan main, karena saya sempat janjian ketemu di Salatiga, ada reuni emas ke-50 tahun alumni diklat PSSI. Tetapi saya berangkat duluan tanggal 21, karena saya singgah ketemu cucu dulu di Jakarta,” ujarnya kepada FAJAR.
Setelah panggilan di ponselnya selesai. Najib langsung memeriksa grup-grup di whatsapp-nya. Sudah banyak ucapan belasungkawa yang dia temui di sana. Dia pun langsung berbagi kabar kepada rekan-rekannya yang lain.
“Telah berpulang ke rahmatullah sahabat dan saudara saya, teman sepermainan, Bapak Abdi Tunggal. Semoga semua dosanya diampuni dan segala amalnya diterima. Tuhan telah memanggilnya pulang ke tempat yang abadi. Tenanglah kawan, insyaallah, tunggu kami semua di sana,” tulisnya.
Najib mengenang masa-masa kecilnya bersama Abdi. Kata dia, mereka hanya berjarak usia dua tahun. Najib lahir di tahun 1954 dan Abdi dua tahun lebih tua. Semasa kecil, mereka merintis karir sepak bola bersama, hingga akhirnya melegenda berkat kemampuannya di atas lapangan.
“Sewaktu kecil, saya sama dia itu sudah main bola pake ukuran tinggi badan. Pertama itu di Persemamajang. Kemudian tahun 1974, saya sama Pak Abdi sama-sama di PSM, waktu i kami juara Soeharto Cup. Itu menjadi salah satu kenangan paling melekat bagi saya,” tuturnya.
Mereka akhirnya meniti karir yang sama di PSM. Hingga pada 1984, mereka kembali menjuarai Jusuf Cup. Kebersamaan mereka terus terukir hingga pensiun. Kata dia, setelah itu dirinya bekerja di pemerintahan, kemudian Abdi menjadi direktur teknik di PSM Makassar. Mereka tetap mencintai sepak bola, meski sudah tidak bermain lagi.
“Saya dulu kan gelandang, Pak Abdi penyerang. Pokoknya lini depan dia kuasai. Winger kanan, winger kiri, striker, semua dia kuasai. Tugas saya hanya menyuplai bola saja ke dia. Jadi kami sudah saling tahu dia mau lari ke mana dan bola seperti apa. Pokoknya beliau itu hebat di dalam luar lapangan,” terangnya.
Dia mengaku benar-benar tidak menyangka akan berpisah saat ini. Sebab, mereka sudah mengatur janji bertemu rekan-rekan lamanya. Hanya saja, pada Selasa, 22 April, Abdi masuk rumah sakit karena keluhan sakit lambung. Sehari setelahnya, kabar berpulangnya terdengar.
“Padahal saya besok pagi ke Semarang, Salatiga, dengan teman-teman dari Jakarta. Kami sudah berencana ketemu Abdi juga, ada Risdianto, Marsely Tambayong, Donny Pattynasarani, Dede Sulaiman, Wahyu Hidayat, Budi Riva, David Sulaksono, Simson Rumahpasal, Bram Nugraha, Maurice, Jhony Fahamzah, dan lainnya,” ungkapnya.
Namun kini pertemuan itu urung. Dia akan tetap melanjutkan perjalanan ke Salatiga tanpa sahabatnya. amun setelah itu, dia mengaku akan segera pulang, berkunjung ke makam sahabatnya tersebut.
Media Officer (MO) PSM Makassar, SUlaiman Abdul karim mengaku, seluruh keluarga besar PSM Makassar merasakan duka yang mendalam atas kepergian Abdi Tunggal. Sebab, dedikasi Abdi bukan sekadar sebagai pemain, namun juga sebagai direktur teknik.
“Keluarga besar PSM merasakan duka yang mendalam. Almarhum adalah sosok yang melegenda. Sumbangsihnya bukan hanya sebagai pemain PSM Makassar. Beliau juga sempat mencurahkan pikiran dan tenaganya sebagai direktur teknik di musim 2009 sampai 2015,” tuturnya.
Dia juga mengatakan, meski saat ini Abdi Tunggal sudah tiada, namun segala kenangan dan dedikasinya tetap hidup bagi PSM Makassar. “Beliau sudah pergi, tetapi legacy dan kenangannya akan abadi. Selamat jalan sang legenda,” tutupnya. (*)