English English Indonesian Indonesian
oleh

Membiarkan Pelanggaran, Membunuh Demokrasi Palopo

Oleh: Syafruddin Jalal
Mantan Ketua KPU dan Panwaslu Kota Palopo, Advokat

Dalam negara hukum, siapa pun — termasuk penyelenggara pemilu — terikat untuk tunduk pada putusan pengadilan. Apalagi jika itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat. Mengabaikan, apalagi melawan putusan MK, bukan hanya bentuk pembangkangan hukum, tetapi juga penghinaan terhadap demokrasi itu sendiri.

Sayangnya, dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Palopo, kita justru menyaksikan skenario kelam: aturan diabaikan, keputusan dilecehkan, dan prinsip keadilan diinjak-injak oleh mereka yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi.

Salah mendasarkan pasal, salah memahami keadilan

PSU Palopo, yang seharusnya menjadi momentum memperbaiki demokrasi, justru berpotensi melahirkan cacat baru. Bawaslu Palopo keliru mendudukkan dasar hukum dalam rekomendasinya terhadap Ahmad Syarifuddin Daud. Mereka menggunakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang hanya berlaku bagi terpidana dengan ancaman pidana di atas lima tahun.

Padahal, kasus Ahmad hanya terkait ancaman pidana 18 bulan. Seharusnya ia diproses berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf h tentang perbuatan tercela. Kekeliruan ini bukan perkara sepele. Ia membuka ruang tafsir sesat yang membahayakan keadilan substantif.

Atas kekeliruan penerapan pasal ini, Bahruddin — mantan Ketua KPU Barito Selatan — melalui media ini (fajar online, kamis 3 April 2025)mengemukakan pendapat bahwa, kasus Ahmad tak perlu dipermasalahkan karena ancaman hukumannya ringan dan masa jedanya sudah lewat, dengan merujuk pada sejumlah putusan MK. Namun, pandangan tersebut gagal membaca realitas hukum terbaru. Dinamika konstitusional dalam pilkada sudah jauh bergerak, meninggalkan pendekatan lama.

Pembelaan Bahruddin justru terjebak dalam sesat logika. Bukan lamanya ancaman pidana yang menjadi masalah, melainkan kualitas perbuatannya. Ujaran kebencian dan fitnah dalam pilkada adalah bentuk kejahatan moral dalam demokrasi. Tidak peduli seberapa kecil ancaman pidananya, pelaku tetap diwajibkan mengumumkan riwayat pidananya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 huruf d PKPU Nomor 8 Tahun 2024, serta ditegaskan pula dalam Putusan MK Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 mengenai perselisihan hasil Pilkada Pasaman.

Faktanya, Ahmad tidak melaksanakan kewajiban mengumumkan riwayat pidananya saat pendaftaran. Ini merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip keterbukaan, yang menjadi fondasi pilkada yang jujur dan adil. Maka, sejak awal, Ahmad Syarifuddin Daud tidak memenuhi syarat pencalonan.

Membangkang putusan MK

Tak hanya Bawaslu yang keliru, KPU Sulawesi Selatan juga pantas dikritik keras. Setelah Naili Trisal ditetapkan sebagai pengganti Trisal Tahir, KPU Sulsel justru membuka ruang bagi Ahmad untuk memperbaiki administrasi.

Langkah ini terang-terangan melanggar amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 mengenai Perselisihan Hasil Pilkada Palopo. Putusan itu secara tegas hanya membolehkan verifikasi terhadap berkas calon pengganti, bukan Ahmad atau calon lain.

Perbaikan administrasi hanya sah dilakukan sebelum penetapan calon, bukan sesudahnya. Membuka kran perbaikan setelah tahapan berjalan berarti melanggar asas kepastian hukum dan menodai kesucian tahapan pilkada.

Tindakan KPU Sulsel memperbesar keraguan publik atas integritas PSU Palopo. Jika penyelenggara pemilu sendiri tidak mematuhi putusan MK, bagaimana mungkin rakyat bisa mempercayai hasilnya?

Membiarkan kekeliruan

Putusan MK adalah puncak dari seluruh mekanisme penyelesaian sengketa pemilu. Ia bukan sekadar dokumen hukum, melainkan jaminan bahwa demokrasi berjalan di atas rel yang benar. Mengabaikannya berarti meruntuhkan fondasi negara hukum.

Bawaslu RI, KPU RI, dan DKPP harus segera bertindak. Tidak cukup hanya mengingatkan — harus ada evaluasi menyeluruh dan sanksi nyata terhadap pihak-pihak yang secara sadar atau lalai melanggar hukum dalam proses PSU ini.

Demokrasi sejati menuntut keberanian menegakkan kebenaran, bahkan bila itu berarti menghadapi sesama penyelenggara pemilu. Jika kita memilih diam, maka kita tengah membiarkan demokrasi Palopo mati perlahan-lahan — mati karena pengkhianatan dari dalam. Salam. (*/)

News Feed