“Stunting tidak hanya soal tinggi badan anak yang pendek. Ini mencerminkan kurangnya asupan nutrisi dalam jangka waktu lama, infeksi yang berulang, serta kurangnya stimulasi psikososial pada anak, khususnya pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK),” kata Nike.
Kepala Bappelitbangda Sulsel, Setiawan Aswad, menyatakan bahwa sebagian besar kepala daerah di Sulsel telah memasukkan penanganan stunting dalam visi dan misi mereka.
Namun, ia menekankan perlunya penguatan tata kelola lintas sektor dalam menangani masalah ini secara menyeluruh.
“Tantangan kita bukan hanya pada level teknis, tapi bagaimana mengintegrasikan program secara konvergen di semua lini. Ini mencakup dari pengambilan kebijakan hingga ke tingkat layanan kesehatan dan keluarga,” jelas Setiawan.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel, Dr. dr. H. Ishaq Iskandar, menegaskan bahwa stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis yang berdampak jangka panjang.
Anak yang stunting berisiko mengalami gangguan kecerdasan, produktivitas rendah, hingga meningkatnya risiko penyakit degeneratif saat dewasa.
“Stunting disebabkan oleh banyak faktor, termasuk pola makan yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, hingga minimnya edukasi gizi pada keluarga. Oleh karena itu, pendekatan komunikasi sangat vital untuk mengubah perilaku masyarakat,” ujarnya.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023 menunjukkan bahwa angka stunting nasional masih berada di angka 21,5 persen, sedangkan Sulsel masuk dalam 10 besar provinsi dengan angka stunting tertinggi, yakni 27,4 persen. Ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk segera bertindak.